27. Sisi Lain

41 3 0
                                    

27. Sisi Lain




"Malam, Yah." Aslan menyapa sopan saat mengambil tempat duduk di depan Arkan.

Seperti yang direncanakan sebelumnya, Aslan datang ke rumah orang tuanya untuk makan malam. Lana datang tak lama kemudian dan duduk di sebelah Arkan dengan senyuman tipis menyapa Aslan.

"Ya, malam," balas Arkan sekedarnya. "Sekolah kamu gimana?"

"Pertemuan Ayah sama Pak Nasar dan Pak Andra gimana?" Aslan balas bertanya karena ia malas menjawab. Sungguh anak pintar yang meresahkan.

Arkan tersenyum tipis. "Ayah yang duluan tanya. Jawab dulu, baru namanya anak yang sopan."

"Aku ngecek konsentrasi Ayah," balas Aslan dengan tawa renyah, padahal dalam hati sudah mengumpat kecil pada Arkan yang ketelitiannya melebihi program komputer. "Sekolah aku baik-baik aja. Satu bulan lagi bakal ngadain pensi, ada Night Party juga."

"Night Party?" Kening Arkan mengerut. "Acara apa itu? Pertemuan penting?"

"Bukan, itu pesta."

"Pesta aja?"

"Sejauh ini rencananya baru pesta aja. Tapi mungkin bakal ada pelepasan lampion, peledakan kembang api sama konser."

"Buang-buang waktu aja," tukas Arkan tak suka. "Lebih baik kamu pulang. Jangan main malam-malam gitu. Nggak berguna."

"Ya, gimana lagi, Yah. Hasrat anak muda itu menggebu-gebu. Di sana aku kan jadi penanggungjawab acaranya, masa nggak hadir?"

"Kenapa harus ngadain Night Party, sih?"

"Udahlah, Sayang," kata Lana menengahi. "Biar anak-anak bersenang-senang dengan caranya. Lagipula cuma satu tahun sekali. Mereka harus refreshing setelah belajar terus-terusan."

Aslan tersenyum bersyukur punya ibu yang pengertian seperti Lana.

"Terakhir kamu lembut ke anak, anak itu membangkang sampai minggat selamanya," tukas Arkan sarkas.

Wajah Aslan berubah datar. Bayangan kejadian masa lalu itu sangat mengganggunya.

"Makanannya udah siap!" seru Lana mengalihkan fokus. "Sekarang, kita makan aja dengan damai. Oke?"

Tanpa berkata lagi, ketiga orang di meja makan itu mulai mengambil alat makan masing-masing dan memakan hidangan yang disediakan asisten rumah tangga.

Rasa makanannya standar. Namun, lebih baik dari buatan Lana. Selama ini, Aslan tak pernah mau lagu memakan masakan Lana karena trauma. Makanannya bisa sangat asin atau terlalu kayak rasa, bisa juga sangat hambar.

Beruntung Lana berhenti memasak karena sibuk dengan arisan dan kegiatannya bersama ibu-ibu elit lainnya. 

"Ayah mau tanya sesuatu, Lan," kata Arkan saat menikmati desert.

Kedua alis Aslan terangkat. "Tanya aja, Yah."

"Kenapa kamu putus sama Jasmine?"

Aslan mengerutkan keningnya. "Kok Ayah tau?"

"Dokter Delvan tadi siang bilang gitu. Kamu bikin Jasmine nangis dan ayahnya marah ke Ayah." Pandangan Arkan berubah tajam. "Ayah kehilangan client elite gara-gara kamu. Emangnya ada masalah apa, sih?"

"Ayah dapet client elite juga gara-gara aku, kan," balas Aslan berani menentang. "Harusnya normal-normal aja kalau Ayah kehilangan client elite itu gara-gara aku juga."

Aslan benar-benar benci cara ayah menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Harusnya Arkan berusaha sendiri untuk kepentingannya. Aslan muak dijadikan budak agar Arkan mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Kamu berani melawan, Aslan?" Kening Arkan mengerut tajam. "Anaknya Pak Nasar nggak mungkin nggak sopan dan anaknya Pak Andra nggak mungkin berani membantah orang tuanya. Sebenarnya kamu gaul sama siapa?"

Ayah nggak tau aja Kaisar sana Arkais aslinya gimana, balas Aslan dalam hati. Ia tersenyum miring. "Aku putus dari Jasmine karena hati aku udah diisi seseorang, Yah."

Ketika Arkan masih terkejut dengan jawabannya, Aslan berdiri dan tersenyum dengan santai. "Tujuan makan malam ini cuma itu, kan? Kalau begitu, aku mau istirahat di apartemen aku, Yah, Bu. Selamat malam."

Aslan telah pamit dengan sopan, tapi Arkan langsung berdiri dengan wajah marah ketika Aslan mulai melangkahkan kakinya.

"Heh! Aslan! Ayah nggak pernah ajarin kamu kayak begini, ya!"

"Hei, anak jelek!"

"Woi!"

Aslan terus mengabaikan seruan-seruan Arkan yang semakin lama semakin mengandung umpatan kasar. Tanpa peduli hari esok Arkan akan bagaimana kepadanya, Aslan masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesinnya dan melajukannya cepat-cepat ke apartemennya.

***

"Siapa yang nyangka kalau mungkin aja ini kesempatan balapan kita yang terakhir," kata Arkais dengan tawa hambar saat melihat Kaisar telah lebih dulu sampai di tempat biasa mereka latihan.

Sebuah jalan sepi yang jauh dari kota, tapi masih bersih akan catatan kejahatan. Di jalan ini, polisi masih belum mencium kegiatan-kegiatan seperti balapan liar, transaksi ilegal atau kericuhan seperti pertarungan yang menyebabkan lautan darah.

Bisa di bilang, tempat ini adalah tempat sakral untuk Aslan, Kaisar dan Arkais. Tempat yang hanya diketahui ketiganya untuk melampiaskan semua yang tidak bisa mereka ungkapkan pada siang hari atau di depan orang banyak.

Kaisar menyisir rambutnya saat merasakan angin malam menyapu wajahnya. Di atas motor besarnya, ia menatap jalanan di depannya. Gelap, sepi, dingin. Perasaan itu membuat Kaisar bahagia. Ia tidak perlu harus berusahalah terlihat berwibawa, tidak perlu selalu menegakkan tubuhnya dan menjaga ekspresi wajahnya.

Malam ini adalah waktunya Kaisar melampiaskan segalanya. Tanpa tanggung-tanggung.

Sudah dua bulan sejak Kaisar tidak menginjakkan kaki di arena balapan. Dua bulan ke belakang ia terlalu sibuk dengan penerimaan siswa baru dan persiapan untuk masuk universitas lanjutan. Ayahnya selalu menekannya untuk segera menentukan rencana masa depannya.

"Ini bukan kali terakhir kita balapan karena gue yakin Aslan udah nego sama cewek itu," balas Kaisar yakin.

"Ya semoga aja," kata Arkais berharap. Kemudian ia mengerutkan keningnya. "Gue penasaran apa yang diomongin Aslan sampe cewek itu keliatannya ketakutan banget."

"Kita nggak bakal tau kalau nggak nanya," tukas Kaisar seraya memakai helmnya.

"Omong-omong, cewek itu berani banget. Nggak biasanya ada yang berani urusan sama Aslan dua kali," kata Arkais dengan rasa penasaran. "Aslan emang keliatan bijak, baik, tapi aslinya dia nggak jauh dari singa."

"Kita nggak akan pernah tau pikiran orang lain, Ar," balas Kaisar.

"Lo kenal cewek itu?" tanya Arkais.

"Kenapa tanya hal yang udah jelas? Gue baru ketemu dia setelah dia berurusan sama Aslan. Gue nggak kenal sama dia," jawab Kaisar berusaha santai.

Arkais tertawa kecil. "Kalau dilihat-lihat dia cantik juga tau. Namanya siapa, tuh? Isla, kan?"

"Ngapain ngomongin masalah itu?" Kaisar memutar bola matanya dengan jengah. "Jadi, gimana nih? Kita mulai aja?"

"Yoi." Arkais mengangguk dan segera ikut memakai helmnya. "Aslan bilang dia nggak bakal ikut latihan malam ini. Kayaknya moodnya ancur bener setelah makan malam di rumah."

Kening Kaisar mengerut mendengar itu. "Bukannya cara satu-satunya bikin mood bagus lagi itu balapan di sini, ya?"

"Entahlah." Arkais mengangkat kedua bahunya. "Dia bilang mau tidur aja di apartemennya."

"Heran deh, dia betah banget di tempat kotor bin bau itu," tukas Kaisar seraya bergidik jijik.

"Sesungguhnya, Ketua OSIS kita itu paling males soal kebersihan. Aslan selalu ngeles ada rapat OSIS di hari dia piket kelas." 

***

Terima kasih telah membaca

30122020

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang