"Nggak apa-apa, La," kata Raya menyemangati, setelah Isla menceritakan bagaimana lomba kemarin. Bahwa Kania masih lebih baik darinya. Bahwa Isla tak puas dengan pencapaiannya. "Lo udah berusaha yang terbaik. Gue bangga sama lo."
"Makasih, Ya." Isla tersenyum tipis. "Gue kesel banget kemarin. Tau berapa selisih poin gue sama Kania?"
"Berapa? Jangan bilang cuma dua poin?"
"Selisihnya lima poin."
"Wah!"
"Dikit banget, kan?"
"Gue nggak ngira dia sehebat itu." Reaksi Raya membuat Isla terkejut. Ia pikir Raya akan ikut merasa kesal, tapi ternyata Raya merasa heran. "Perasaan itu anak senengnya make-up, deh. Kenapa dia jadi jago siaran langsung kayak lo?"
"Raya, masalahnya bukan itu sekarang." Isla memutar bola matanya jengah. "Klub Harian Pelangi terancam banget. Prestasi Kania lebih tinggi dari gue!"
"Yah, gimana lagi," tukas Raya turut kebingungan. "Saran gue, lo hanya perlu terus asah kemampuan lo. Siapa tau nanti, suatu hari lo bisa kalahin Kania? Gue bakal bantuin sama lo bisa mencapai itu, deh."
"Seriusan?"
"Satu triliunrius."
Isla tertawa geli. "Ada-ada aja."
"Yah. Pokoknya jangan pernah menyerah atas keadaan, La." Raya berkata serius, sesuatu yang jarang sekali perempuan itu lakukan. "Kesedihan hari ini bisa saja jadi bahagia esok hari, itu kata lagu yang gue suka."
"Judulnya apa, tuh?"
"Esok Kan Bahagia," jawab Raya. "Coba lo bikin covernya, deh. Pasti pecah!"
Isla mengangguk-angguk. "Makasih, Ya. Lo emang BFF gue."
"Sama-sama, BFF."
"Permisi!"
Sebuah suara dari ambang pintu membuat Isla dan Raya mengalihkan pandangannya. Di luar kelas ada seseorang yang entah mengapa tampak mencurigakan di mata Isla.
"Iya, ada apa?" Seseorang dalam kelas menyahutinya.
"Ada yang namanya Isla?"
"Gue!" Isla segera mengangkat tangannya, membuat orang di ambang pintu itu meikue padanya. "Kenapa?"
"Kata Kak Aslan ke ruangan klub The Art sekarang."
"Oke. Makasih informasinya," balas Isla dan informan itu segera melenggang pergi.
"Anjir, ada apaan tuh?" tanya Raya penasaran akut. "Kok lo disuruh masuk ke ruangan khusus anggota The Art aja, sih?"
Isla tersenyum kaku. "Sebenernya gue pernah satu kali masuk diam-diam ke sana."
"Wah, main lo liar banget, La." Raya mencemooh, tapi selanjutnya ia mendorong punggung Isla untuk segera keluar kelas. "Lanjutkan!"
***
Tok tok tok
Isla mengetuk pintu ruangan The Art dengan pelan. Sebenarnya ia takut, tapi berusaha untuk tampak tegar dan kuat.
"Masuk!" Terdengar suara Aslan dari dalam.
Isla mengambil napas satu kali sebelum akhirnya membuka pintu tersebut dan masuk. Di dalam sana, sudah duduk tiga pangeran sekolah dengan wajah serupa. Mereka sama-sama memasang wajah datar. Namun, punya aura yang berbeda. Aslan dengan aura tegasnya, Kaisar dengan aura dinginnya dan Arkais dengan aura jahilnya.
"Halo, Kak," sapa Isla.
"Hai." Hanya Arkais yang membalas sapaannya.
"Langsung aja ya," kata Aslan dengan senyuman kecil, terlihat sangat licik di mata Isla. "Kita bertiga udah sepakat buat tunjuk gue sendiri buat wawancara majalah klub lo."
Isla membulatkan matanya. "Lah? Kok gitu? Gue kan pengen tiga-tiganya."
"Apa ada asisten yang bisa merubah keputusan tuannya?" tanya Aslan dengan satu alis naik.
"Oke." Isla paham dirinya hanya sebutir beras bagi Aslan. Jadi, ia menerima saja dengan apa adanya. "Jadi, wawancara sekarang? Waktu istirahat masih ada sepuluh menit lagi. Gue udah bikin pertanyaannya, sepuluh menit udah lebih dari cukup seharusnya."
"No." Aslan langsung menolak. "Kita jangan wawancara di sekolah. Ada tempat khusus buat lo wawancara hari ini."
Isla menurunkan bahunya dengan lemas. Sebelumnya wawancara, ia sudah merasa sangat lelah. Entah kenapa. "Di mana?"
"Nanti pulang sekolah, gue tunggu di parkiran. Kita ke sana bareng-bareng."
"Hm, oke deh."
"Udah. Lo bisa balik ke kelas lagi," usir Aslan. "Hush."
Isla menatap Aslan dengan rahang mengeras. "Apa saya terlihat seperti kucing? Harus banget, ya, pake 'hush', Tuan Aslan?"
"Nggak, lo lebih lucu dari kucing," balas Aslan dengan senyuman manis, sesaat membuat Isla merasa ada di awang-awang sampai ia mendengar lanjutannya, "tapi emang harus banget pake 'hush' karena lo bukan anggota The Art."
"Oke!" seru Isla emosi. "Kalau gitu, saya pamit."
"Nggak usah formal-formal amat, nggak cocok!" seru Aslan saat Isla berbalik dan pergi dari ruangan.
Hanya tersisa tiga orang di ruangan itu. Dua lainnya merasa keberadaannya sangat tidak diperlukan saat hanya satu yang harus bicara pada Isla sebelumnya.
"Lo demen sama Isla?" tanya Arkais langsung.
"Bukan Isla, dia Ayla," koreksi Aslan.
"Hah?" Arkais mengerutkan keningnya. "Jelas-jelas di badge namanya Isla. Gue belum katarak, Lan."
"Emang. Kayak bahasa Inggris dari pulau, cara menulis sama pembacaannya beda," jelas Aslan. Ia sesekali melihat reaksi Kaisar dan merasa geli karena ia tahu semuanya. "Ditulis Isla, dibaca Ayla."
"Ooh, gitu." Arkais mengangguk paham. "Lo tau sebanyak itu, apa hati lo udah melupakan Jasmine?"
Aslan menatap Arkais seolah pertanyaannya tidak masuk akal. "Siapa Jasmine?"
"Mantan lo satu Minggu yang lalu, Bego."
"Gue pacaran sama Jasmine tuh gara-gara disuruh ayah. Gue sama sekali nggak bener-bener jatuh cinta sama dia. Mungkin sesaat, karena dia cantik dan mengerti tentang seni," balas Aslan santai. "Sekarang dia nggak jauh beda dari rumput-rumput depan rumah."
"Kejam juga lo, Bro."
"Pura-pura lo sempurna banget, Lan," ouji Arkais. "Apa sekarang lo juga cuma pura-pura tertarik sama 'asisten' lo itu?"
"Nggak." Aslan melirik Kaisar sebelum akhirnya menjawab dengan mantap. "Kali ini gue nggak pura-pura, gue serius."
***
Jangan jadi hantu yang nggak ninggalin jejak apa-apa 💃😘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Novela Juvenil⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...