44. Bantuan

42 3 0
                                    

Sejak kecil, Aslan punya keluarga yang sangat harmonis. Ayah dan Ibu yang saling menyayangi dan mendukung pada kegiatan masing-masing, kakak laki-laki penyayang yang bisa diandalkan serta lingkungan keluarga yang hangat sampai Aslan enggan untuk beranjak sekolah setiap pagi.

Rumah adalah tempat ternyaman untuknya.

Araafi adalah kakak laki-laki panutan Aslan. Saat Ayah dan Ibu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Araafi yang selalu menemani waktu sepi Aslan hingga terasa menyenangkan dan tak terlupakan. Meski terpaut lima tahun, Araafi sangat dekat dengan Aslan.

"Nanti kalau udah gede mau jadi apa lo?" tanya Araafi di suatu hari yang biasa. Ayah tengah berada dalam perjalanan bisnis, begitu pula dengan Ibu. Kakak adik itu berdua saja di rumah, dengan televisi menyala dan buah potong di atas meja.

Aslan berpikir sebentar untuk menjawab pertanyaan Araafi. Waktu itu Aslan masih berusia dua belas tahun, belum mengerti banyak hal. "Kayaknya jadi kayak lo aja deh, Bang."

"Jadi kayak gue?"

"Iya."

"Apa nih maksud lo? Gue bahkan belum jadi apa-apa, lho," ungkap Araafi kebingungan.

"Menurut gue, lo udah jadi apa-apa kok sekarang," balas Aslan.

"Apa?" tanya Araafi.

"Seseorang yang penuh kasih sayang," jawab Aslan tanpa ragu.

Araafi mau muntah dan langsung menyiksa Aslan karena merasa sangat jijik. Keduanya bergelut hebat, tapi tak pernah benar-benar bermusuhan.

Lalu, hari-hari damai itu berubah sangat drastis saat setelah kelulusan SMA, Araafi pulang dengan penuh darah. Kesadaran laki-laki itu juga tidak ada sepenuhnya, bau alkohol dan matanya merah.

Aslan tak bisa mengenali Araafi malam itu. Ayah dan Ibu bereaksi sangat kecewa. Ayah sangat marah saat mendengar apa yang dikatakan Araafi malam itu.

Araafi mengaku sebagai ketua dari Ardeuz, sekelompok buronan yang terlibat penculikan anak kecil baru-baru ini. Awalnya mereka hanya geng motor yang suka berfoya-foya di malam hari, tapi semakin hari, mereka melakukan kriminalitas yang tidak bisa ditoleransi lagi.

"Dasar anak yang nggak berguna!" Ayah tak memberi kesempatan pada Araafi untuk menjelaskan mengapa dirinya bisa seperti itu atau mempertahankan Araafi di rumah ini. Yang terlintas dalam benak Ayah saat itu hanya reputasinya.

"Pergi sana!" Ayah mendorong tubuh Araafi keluar dari gerbang rumah dengan napas memburu. Tak peduli Araafi semakin kesakitan akibatnya. "Jangan pernah kembali lagi sebelum kamu bakar geng motor sialan itu!"

Mulai saat itu, Aslan punya kakak laki-laki, tapi tak pernah benar-benar merasa memilikinya. Keluarga mereka berjumlah empat orang, tapi yang selalu hadir di meja makan hanya tiga orang.

Araafi masih anak Ayah dan Ibu, tapi ia tak diijinkan untuk masuk lagi ke rumah, untuk bertemu Ayah dan Ibu. Araafi dibuang karena berpotensi mencoreng nama baik keluarga.

Ayah dan Ibu tak pernah lagi menyinggung nama Araafi, seolah laki-laki itu tak pernah ada di sini. Meski rindu dan ingin berucap, Aslan menahannya sebab Ayah telah menanam sebuah kenyataan hakiki dalam benaknya.

"Jangan pernah jadi seperti Araafi. Jangan anggap Araafi pernah ada di sini. Hapus semua ingatan kamu tentang dia. Belajar yang bener, jadi orang yang berguna buat negeri. Jangan mencoreng nama keluarga."

Aslan menurut. Ia sayang Ayah, ia juga sayang Ibu. Aslan tak mau kehilangan dua-duanya.

Sampai satu tahun kemudian, Ardeuz masih belum tertangkap oleh polisi. Geng motor berbahaya itu berhasil mempertahankan posisinya. Lalu, terbukti tidak bersalah karena ada pelaku lain dari kejahatan yang sebelumnya dituduhkan pada Ardeuz.

Kelompok laki-laki tampan yang temperamental itu semakin dikenal orang-orang. Semakin dipandang tinggi juga karena mulai bergabung dengan bisnis-bisnis bawah tanah karena punya skil mumpuni.

Tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu, Aslan menemui Araafi.

Aslan tertarik untuk bergaul dalam dunia yang sama dengan Araafi sekarang. Araafi tak menolak, laki-laki itu justru senang karena Aslan menemukan hobi yang disukai. Aslan bergabung dengan Ardeuz, lalu ia mengenal teman-teman Araafi yang lainnya.

Ternyata, nama Ardeuz diambil dari nama tiga orang. Araafi, Dezra dan Reuz. Mereka sahabat dekat dan Aslan sangat mengaguminya.

Lalu, Aslan mengajak Kaisar dan Arkais yang merupakan asistennya di OSIS untuk ikut dalam sebuah balapan. Tanpa diduga, ketiganya menyukainya dan memutuskan untuk membuat sebuah geng motor sendiri yang bernamakan Askaar, gabungan dari nama ketiganya.

Seperti anak Ardeuz, Askaar tumbuh dengan bantuan Araafi. Mereka mulai membesar dan kuat sampai dapat bersanding dengannya.

Cara Askaar merekrut anggota baru juga sama seperti Ardeuz, mengambilnya dari panti asuhan. Anak-anak yang tak punya ikatan, tak punya tujuan dan arah hidup.

Namun, tujuan Askaar berbeda.

Ardeuz dibentuk untuk bisnis dan balas dendam, Askaar dibuat untuk menjadikannya rumah bagi orang-orang yang membutuhkan.

***

Ding Dong!

Aslan segera beranjak dari sofa saat bel apartemennya berbunyi. Ia membuka pintunya dan terkejut akan kedatangan seseorang. Telah lima bulan berlalu saat terakhir kali Aslan melihatnya.

Laki-laki itu tampak lebih segar dari sebelumnya. Tak ada kumis atau jenggot lagi di wajah tampannya seperti waktu lalu. Jika penampilannya seperti ini, akan sulit untuk membedakan nama Araafi dan mana Aslan karena keduanya tampak seperti pinang dibelah dua.

"Aslan," sapa Araafi. Senyuman tipis tercipta di wajahnya.

Aslan terkejut akan kedatangan Araafi. Namun, ia tersenyum ramah dan segera memeluknya sekilas. Membuang rindu yang telah terkumpul lima bulan terakhir. "Ada apa, Bang?"

"Nengok aja." Araafi melangkah masuk. "Askaar lagi dalam masalahnya, ya? Masuk berita terus."

"Iya." Aslan duduk di sebelah Araafi dengan wajah gusar. "Gue nggak tau apa yang salah. Gue lagi sibuk ngurusin pensi juga."

"Mau gue bantuin?"

Aslan menipiskan bibirnya. Tiap apa-apa yang dilakukan Araafi untuknya, pasti Aslan harus membayarnya dengan setara. Jujur, ia lelah dengan hubungan yang tak gratis itu, tapi saat ini ia memang butuh bantuan Araafi.

"Kali ini apa yang harus gue lakuin buat balesnya?" tanya Aslan.

Dulu, Araafi pernah membantu saat Askaar kesulitan untuk menghadapi sekelompok perampok. Bersama Ardeuz, Araafi membuat Askaar terlepas dari jeratan hutang kelompok perampokan yang ringan tangan itu.

Lalu, gantinya Aslan harus membukakan pintu untuk Araafi masuk ke dalam rumah saat ulangtahun Arkan. Di sanalah terjadi kekacauan yang akhirnya membuat Araafi semakin dibenci. Arkan marah dan mengusir Araafi dengan kasar.

Aslan semakin ditekankan untuk tak menjadi seperti Araafi. Namun, justru hal itu membuat Aslan ingin membuktikan bahwa Araafi tidak seburuk itu. Kesalahannya tidaklah terlalu fatal hingga harus diasingkan dari keluarga.

"Kali ini gratis." Araafi tersenyum lebar. "Gue melakukannya secara cuma-cuma. Gimana? Harus gue apain mereka-mereka yang berkhianat sama lo?"

"Tolong gue, Bang," pinta Aslan agak putus asa. "Lakuin apa yang lo mau supaya Askaar terlepas dari para pengkhianat."

"Oke," balas Araafi santai.

***

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang