55. Putus

51 4 0
                                    

Raya ingin mengajak Isla makan di kantin bersama setelah menemuinya di atap, tapi justru menemukan sesuatu yang tak terduga. Entah sejak kapan Isla berhubungan dengan Aslan dan membohongi Raya.

Bagaimana perempuan mengaku berasal dari keluarga berada dan bergaul dengannya membuat Raya ingin muntah. Ia tak menyangka dekat dengan seseorang serendah Isla selama ini.

Padahal ia sudah menolak ajakan Shita, perempuan dari kalangan atas yang begitu mewah, untuk bergabung dengannya. Sebab Raya pikir Isla bukan seseorang yang rumit seperti Shita yang punya banyak aturan dalam persahabatan.

Ternyata, bersahabat dengan Isla lebih buruk dari itu. Dia menipunya, membohonginya, memanfaatkannya.

Raya berbalik pergi saat Isla tak bisa menjawab pertanyaannya dengan cepat.

"Ray, tunggu! Gue bisa jelasin!" seru Isla seraya bangkit dan berlari cepat untuk menahan kepergian Raya. "Hei!"

Raya akhirnya berhenti berjalan, menatap Isla dengan malas.

"Gue bisa jelasin, Ray." Isla terengah-engah takut.

"Jelasin apa lagi?" tanya Raya muak. "Semuanya udah jelas. Lo bohongin gue dan gue benci sama lo."

"Lo lupa sama janji jari kelingking kita?"

"Janji jari kelingking sampah," tukas Raya seraya menepis tangan Isla dari lengannya. Matanya melotot tajam. "Itu nggak berlaku lagi saat lo sengaja bohongin gue, La. Gue merasa diinjak-injak sekarang."

Isla membuang napas frustasi. "Ray, gue nggak pernah bermaksud buat—"

"Lo cuma manfaatin gue!" seru Raya marah. "Lo nempel ke gue supaya nggak dijahatin orang-orang karena status orang tua lo, kan? Lo pikir gue bego?"

"Apa pertemanan harus diukur sama derajat orang tua?" tanya Isla miris. Ia tak meradang yang di depannya adalah Raya yang ia kenal. Raya sahabatnya.

"Jelas." Raya menukas cepat. "Lo paham betul itu aturan nggak tertulis di sekolah ini. Gue nggak akan temenan lagi sama lo."

Isla mengeraskan rahangnya. "Lo juga sama, Ra."

"Apa?" Kening Raya mengerut tak paham.

"Lo manfaatin gue buat jatohin Kania karena dia sepupu yang lo benci." Isla menahan amarahnya dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Iya, kan?"

Mata Raya mengerjap-ngerjap gugup. "Lo ... tau dari mana?"

"Kania sendiri yang bilang," tukas Isla. "Waktu dia ambil pialanya di ruangan, gue lagi bersih-bersih. Dia bilang lo seneng banget karena Kania menderita, terus lo bilang ke Kania kalau lo benci banget sama dia sampai mau mati rasanya. Terus, lo bilang semua rencana buat jatohin Kania lewat gue. Mulai dari pura-pura temenan sama gue, semangatin gue buat jagoin Kania, sampai sebarin berita gelap tentang Kania."

Napas Raya tercekat.

"Gue tau semuanya, Ya. Gue merasa lo nggak tulus temenan sama gue," lanjut Isla pahit. "Tapi gue diem aja karena gue mau bertahan sama lo. Lo satu-satunya temen yang gue punya, Ya."

"Nggak ada temen yang saling menyakiti kayak gini, La." Raya tertawa hambar. "Gue bohongin lo, lo bohongin gue. Bukannya nggak ada alasan buat kita temenan lagi?"

"Gue nggak peduli itu." Isla menggeleng cepat. "Gue sayang sama lo, Ya."

"Sayang banget, perasaan lo bertepuk sebelah tangan," tanggap Raya dengan senyuman miring. "Tau gitu, gue gabung sama Shita dari dulu. Bye, Penipu."

Lalu, Raya benar-benar pergi dari hadapan Isla.

Untuk kedua kalinya, Isla jatuh dan menangis.

***

The Art (3)

Aslan: kumpul sekarang di ruangan

Kaisar berdecak membaca itu. Ia sudah bisa menduga Aslan akan membicarakan apa.

Namun, Kaisar tetap mau pergi ke sana.

Saat melewati koridor kelas XII, Kaisar berpapasan dengan teman Isla yang datang dari arah tangga menuju atap. Wajahnya tampak marah dan kecewa. Kaisar merasa ada sesuatu yang tak beres.

Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari menuju atap. Lalu, menemukan Isla dalam keadaan kacau. Tangisnya terdengar memilukan.

Kaisar ingin mendekat, mendekapnya erat. Namun, otaknya menghentikan langkah kakinya. Ia harus menahan diri agar tak ada yang terluka lagi.

Kaisar mengepalkan tangannya, lalu berbalik pergi dengan perasaan yang sangat berat. Sampai di ruangan The Art, Aslan dan Arkais telah duduk di kursi masing-masing.

"Apa lo berdua yang pasang banner bego itu?" tanya Aslan segera. Matanya merah, terselimuti oleh kemarahan.

Jika benar bukan Isla yang melakukannya, maka Kaisar atau Arkais pelakunya.

"Apa faedahnya gue pasang itu, Lan?" tanya Arkais tak senang dituduh begitu saja.

"Lo adalah orang kedua yang gue curigai, Ar," tukas Aslan tajam.

"Bukan gue." Arkais mengangkat kedua tangannya. "Sumpah."

"Gue udah bilang nggak akan bersinggungan lagi sama Askaar, Lan." Kaisar memberikan argumen untuk membela diri sendiri. "Lo pasti paham."

"Apa lo punya seseorang yang dicurigai?" tanya Aslan meminta pendapat.

"Selain Arkais, nggak tau." Kaisar membalas seraya melirik Arkais dengan penuh kecurigaan. Ia sudah dengar Arkais mengaku tentang kekacauan panggung pensi dan keluarnya ia dari Askaar. Arkais hanya bisa membuat napas sabar saat lagi-lagi dituduh. "Mungkin anggota Askaar yang dendam? Atau bisa jadi geng motor lain yang mau nantangin."

Aslan berdecak. "Tapi nggak ada yang tau gue ketuanya selain lo, lo, Isla, Kakak gue—"

Sebuah kesadaran menghantam kepalanya dengan keras. Membuat mata Aslan membulat dengan wajah tercengang.

"Mungkin itu kakak lo," cetus Arkais.

Benar. Araafi mengancamnya untuk segera keluar dari Askaar. Pasti laki-laki itu sedang mengancamnya kali ini. Aslan merenung lama, menunduk dengan kepala yang terasa pening.

Setelah Tyan, Araafi muncul. Hidup Aslan sibuk sekali.

"Kesimpulannya udah dapet kayaknya," tukas Arkais. "Gue balik ke kelas, ya. Ada tugas."

Setelah kepergian Arkais, Kaisar menatap Aslan dengan tajam. Aslan mengerutkan keningnya saat menyadari tatapan Kaisar berbeda dari biasanya.

"Lo ngapain Isla?" tanya Kaisar tajam.

Ah, benar. Isla!

Aslan langsung pergi ke atap dengan perasaan cemas, tapi tak ada siapa-siapa lagi di sana. Aslan memukul tembok pembatas atap dengan amarah. Ia marah pada dirinya yang bodoh.

Lagi-lagi ia menyakiti Isla.

***

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang