51. Araafi

39 3 0
                                    


Aslan sudah diamankan ke kamarnya sejurus kemudian. Luka-lukanya telah diobati dan hanya waktu yang bisa menyembuhkannya.

Harusnya Isla sudah pulang saat ini, tapi Araafi menahannya karena ingin memberikan beberapa pertanyaan. Isla menurut saja karena Araafi adalah kakaknya Aslan, wajah kalau seorang kakak ingin tahu mengenai orang yang berhubungan dengan adiknya.

"Kamu pacarnya Aslan?" Araafi menyuarakan pertanyaan pertama.

"Bukan."

"Temen deket?"

"Bukan juga."

"Musuh?"

"Mana ada."

"Terus hubungan kalian apa?" tanya Araafi jengah. "Nggak mungkin kamu sampai rela ke sini malem-malem, terus ngobatin dia."

"Entahlah." Isla mengangkat kedua bahunya, tak bisa menjawab dengan pasti. "Cinta kan emang nggak tentu ke mana arahnya, nggak tentu apa penjelasannya dan nggak tentu akhirnya."

Araafi menganguk-angguk paham. "Jadi, cinta bertepuk sebelah tangan?"

"Entahlah." Isla lagi-lagi tak bisa menjawabnya dengan yakin. "Kak Aslan tuh katanya bilang I love you, tapi nggak pernah kasih tau kalau itu serius. Aku jadi curiga dia cuma bercanda."

"Terus? Kenapa kamu ke sini?" tanya Araafi gemas. Sudah beberapa pertanyaan ia lontarkan, tapi tak kunjung membuahkan hasil.

"Nggak tau," jawab Isla. "Hati aku yang nyuruh."

"Lucu banget kalian." Araafi tertawa, lalu teringat nama Isla di kontak Aslan. "Aslan emang suka bercanda sama perasaan. Nggak pernah serius macarin cewek. Padahal kamu cantik, lucu, imut, baik, cuma kurang sesuatu aja."

"Kurang apa?"

"Kurang cerdas," tukas Araafi, langsung membuat Isla cemberut sedih. "Harusnya kamu balas I love you biar Aslan ambyar juga. Terus bersikap seolah kamu bercanda aja."

"Kakak sama adek sama-sama nggak waras," ungkap Isla tak tanggung-tanggung. Meski baru bertemu, ia merasa nyaman di dekat Araafi. Seperti baru bertemu kawan lama. Mungkin ini karena wajahnya sangat mirip Aslan, jadi Isla mudah menyesuaikan diri. "Mana bisa aku mainin hati orang yang aku sayang gitu aja! Aku juga nggak mau nyiksa diri dengan sayang tapi pura-pura nggak sayang!"

"Idih, bocil pinter ngomong." Araafi mengacak rambut Isla dengan gemas. "Kalau sayang, kenapa nggak langsung bilang?"

"Ya, emang kalau langsung bilang, Kak Aslan bakal terbang?" tanya Isla tanpa berharap. "Yang ada dia hilang."

"Kenapa mikir kayak gitu?"

"Keliatan aja. Kak Aslan itu tipe yang nggak mau dikekang, mau bebas gitu aja kalau ada rasa," tukas Isla sedih. Makanya ia tak mau jatuh lebih dalam pada Aslan. Sebab laki-laki itu tak bisa ia genggam seperti yang ia mau. "Kak Jasmine, mantan Kak Aslan yang cantik kayak bidadari itu dilepas gitu aja. Apalagi aku."

"Kamu kan nggak ngekang."

Isla menatap Araafi serius. "Aku posesif banget, Kak."

"Emang pernah punya pacar?"

"Ck." Isla tak senang privasinya diketuk. Malu sekali rasanya dapat pernyataan itu, tapi tak bisa menjawab dengan percaya diri. Hidup Isla memang sudah ditakdirkan untuk selalu menyedihkan.  "Heran deh, ngorol terus padahal baru ketemu."

Araafi tersenyum penuh arti. "Soalnya aku tertarik buat rekrut kamu."

"Rekrut aku?"

"Jadi ketua baru Askaar," papar Araafi. "Ah, bukan. Kalau ketuanya kamu, ganti jadi Islands."

Perkataan Araafi yang terakhir itu menjadi kata-kata paling gila yang pernah Isla dengar. Sepertinya, gen gila sudah mendarah daging dalam keluarga Aslan.

***

"Gue berhasil, Kai, Ar," lapor Aslan pada Kaisar dan Arkais pada pertemuan mingguan The Art. Dengan senyuman bangga, Aslan menatap kedua teman dekatnya."Moon Racer bagian Askaar sekarang."

"Gue seneng buat itu," balas Kaisar tulus. "Tapi gue minta maaf. Gue nggak bisa ada di jalan yang sama lagi kayak lo berdua."

"It's okay." Aslan tersenyum tipis.  "Sekalipun begitu, Askaar akan tetap ada. Aslan, Kaisar, Arkais tetap jadi nama rumah kita."

"Pertahankan selalu," pesan Kaisar sungguh-sungguh. Hanya ini satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk kebaikan semua orang.

Aslan mengedipkan sebelah matanya. "Siap."

"Lan," kata Arkais yang sedari tadi hanya diam.

"Hm?" Aslan bergumam kecil, lanjut mengguratkan warna biru pada kanvas di depannya.

"Apa lo yakin?"

"Kenapa?"

"Tyan nggak bisa gitu aja lo percaya, lho," papar Arkais.  "Dari dulu dia selalu cari celah buat bikin masalah sama lo."

"Orang bisa berubah, Ar."

"Lan, lo harus hati-hati."

"Itu pasti." Aslan mengangkat kedua alisnya. "Lo tenang aja. Kayaknya sekarang semua masalah udah selesai."

"Selesai dari mana? Orang-orang yang berkhianat sama Askaar belum kita eksekusi," heran Arkais.

Kaisar tersenyum miring. "Itu nggak perlu lagi. Mereka bukan anggota Askaar beneran."

"Maksudnya?"

"Mereka cuma orang-orang yang disuruh seseorang buat hancurin Askaar," balas Kaisar pedih. Orang-orang yang dulunya ia rangkul bagai keluarga ternyata hanya sebuah kepura-puraan.

"Seseorang?" Kening Arkais mengerut. "Siapa tuh? Lo udah tau?"

Kaisar menggeleng pelan. "Gue belum yakin, tapi gue bakal memastikannya malem ini."

***

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang