47. Memutus

44 3 0
                                    

Hanya satu orang yang datang dalam pikiran Aslan sebagai dalang dari kekacauan di pensi malam ini. Isla masih tak sadarkan diri di rumah sakit terdekat dan Aslan segera pergi ke atap untuk menenangkan diri.

Beruntung tak ada korban lagi atas kekacauan di panggung itu. Namun, Aslan lebih marah lagi karena hanya Isla yang terluka atas kejadian ini.

Tanpa menunggu amarahnya reda, ia memanggil Tyan lewat ponselnya. Laki-laki menyebalkan itu menjawab tak sampai lima detik Aslan menunggu.

"Jadi, ini main course yang lo siapin, anj**?!" murka Aslan.

"Wow, wow, apa di sekolah lo nggak di ajarin manner bertelepon?"

"Gue nggak perlu pake manner buat lo, anj**." Napas Aslan semakin memburu. "Gue ingetin lo buat nggak bermain kotor. Demen banget lo usik gue, ya."

"Gue nggak ngerti lo ngomong apaan, Goblok," tukas Tyan mulai emosi. "Gue bahkan belum kirim main course gue."

Kening Aslan mengerut tajam. Tak menyangka dengan pernyataan Tyan. "Apa?"

"Jangan pura-pura budeg lo, nanti budeg beneran. Gue syukuran satu komplek," balas Tyan sarkas.

"Nggak lucu, Yan." Aslan tertawa hambar.  "Lo jangan bohongin gue."

"Emang kenapa, sih?"

"Pensi gue rusak. Ada seseorang yang bikin panggung nggak kokoh," jelas Aslan cepat.  "Satu-satunya yang disalahin itu gue. Karena gue penanggung jawab acara malem itu."

"Kasian," tanggal Tyan dengan tawa renyah. "Lagi-lagi lo dikhianati. Apa itu karma?"

"Sialan."

"Gue tunggu lo minggu depan." Tyan berkata tegas. "Cuma. Kita. Berdua."

"Dalam rangka apa?"

"Main course," tukas Tyan serius. "Our real battle."

Aslan mengeratkan kepalan tangannya.

"Gue tiba-tiba pengen ubah main course itu karena gue nggak mau melukai sekolah temen bokap gue."

"Apa?"

"Bokap gue sama bokapnya Kaisar sekarang udah sahabatan. Deket banget kayak adek kakak, nggak mungkin gue merusaknya," jelas Tyan.

Dan dada Aslan semakin bergejolak. "Gue nggak tanya."

Lalu, ia memutuskan panggilan telepon itu secara sepihak.

***

Telah dua jam berlalu, Isla masih memejamkan matanya. Aslan masih setia duduk di sebelah Isla yang terbaring lemah. Ia telah menyerahkan penyelesaian kekacauan di Night Party sekolah pada Kaisar dan Arkais.

Aslan telah angkat tangan. Ia yang akan menanggung kemarahan dan kekecewaan kepala sekolah serta dewan guru lainnya.

Namun, Aslan tak mau kehilangan Isla. Ia tak mau Isla menjauh lagi setelah ia berhasil dekat dengannya lagi.

Rasanya baru satu detik mereka bisa bersama dengan damai, kini keduanya harus sadar bahwa kebersamaan membuat salah satunya terluka, lalu yang lainnya merasa bersalah.

Aslan hendak mengambilnya tangan Isla, lalu sangat terkejut saat tangan itu menjauh, menghindarinya. Mata Aslan membulat. Langsung mengarah pada Isla yang telah membuka matanya.

"Bagus lo udah sadar," kata Aslan lega. Senyumnya tak bisa ditahan untuk tercipta lebar.

"Gue takut, Kak." Isla menahan air matanya.

Aslan segera mendekat. "Nggak apa-apa. Ada gue di sini. Gue—"

"Gue takut karena ada lo di sini, Kak!" seru Isla dengan air mata yang berhasil meluncur di pipinya. Suaranya semakin lemah saat melanjutkan dengan penuh permohonan, "please, pergi."

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang