Seperti rutinitasnya baru-baru ini, sebelum pergi ke sekolah, Aslan pergi menuju rumah Kaisar untuk mengikuti Isla diam-diam. Isla adalah satu-satunya orang yang mengancam ketentraman hidupnya. Aslan harus melakukan sesuatu atau mengetahui apapun tentang Isla agar ia bisa balas melawannya.
Aslan tak pernah membiarkan dirinya menjadi satu-satunya orang yang tersiksa di sini.
Salah Isla, ia bermain-main dengan orang yang salah, karena detik ini, Aslan merasa akan mendapatkan jackpot.
"Dia ngobrol sama siapa?" Aslan menyipitkan matanya saat melihat Isla tengah berhadapan dengan seseorang. Mereka saling menggerakkan tangan, hanya Isla yang berbicara. "Eh? Bukannya itu pembantu rumah Kaisar?"
Aslan tak lupa merekam dan mengambil foto untuk dijadikan sebagai bukti. Jelas, seseorang yang Isla ajak bicara adalah pembantu rumah Kaisar. Aslan masih ingat karena orang itu selalu membawakan minuman jika Aslan berkunjung ke rumah Kaisar.
"Apaan, deh? Kok peluk-peluk? Eh, kok dicium juga?" Aslan membulatkan matanya ketika Isla melakukan sentuhan yang agak berlebihan jika keduanya tak punya hubungan serius.
Aslan berpikir. "Sebenarnya mereka ini siapa?"
"Dadah, Ibu!" Seruan Isla terdengar jelas sebelum perempuan itu berjalan ringan ke arah sekolahnya.
"Oh, ibunya." Aslan mengangguk kecil, lalu mengerutkan keningnya saat merasa ada yang tidak beres. "Tunggu, berarti selama ini dia bohong? Alamatnya juga palsu."
Aslan hanya bisa tertawa ketika menyadari hal gila apa yang terkait dengan Isla. Ia tak tahu mengapa biodata Isla bisa dipalsukan, tapi sudah pasti hal itu dilakukan agar orang-orang tidak mengetahui fakta itu.
Sekarang, Aslan mengetahuinya.
***
"Hai!"
Ketika tengah berjalan sendirian menuju kelas, kedua pundak Isla tiba-tiba dikejutkan oleh seseorang.
"Eh, kambing lompat!" Isla langsung menyentuh dadanya, berharap jantungnya tidak melompat jatuh.
Aslan tertawa melihat reaksi Isla. "Lucu banget latahnya."
"Ngagetin orang itu bahaya tau, Kak! Gimana kalau jantung gue ikutan lompat?!" Isla berteriak kesal. Ia berani begitu karena tak ada siapapun di koridor ini sekarang.
"Kalau jantung lo lompat, bakal gue ambil, terus tempelin lagi ke tempatnya semula. Gampang, kan?" Aslan membalas santai.
"Pagi-pagi udah stress aja, Kak. Kenapa?" Isla mengulurkan punggung tangannya ke kening Aslan dan mengecek suhunya tanpa izin. "Nggak panas, kok."
Aslan mengambil pergelangan tangan Isla untuk dijauhkan dari keningnya. Tatapan matanya menajam. "Kata siapa lo boleh pegang kepala gue?"
"Gue pegang kening lo, kok," balas Isla santai.
"Lo." Aslan menahan kemarahannya.
"Kenapa?" Isla jutsru menantang. Lalu, tanpa membiarkan Aslan membalas pertanyaannya, ia lebih dulu melanjutkan. "Daripada marah-marah, mending kasih gue bahan buat berita di majalah Harian Pelangi. Beberapa anak request tentang gimana lo kerjain satu lukisan, Kak. Sama Kak Kaisar, Kak Arkais juga. Mereka juga mau arti dari lukisan yang kalian buat. Gimana kalau gue wawancara hari ini?"
Aslan tersenyum miring. "Nggak segampang itu."
"Bukannya kita udah sepakat kemarin malem?" Kening Isla mengerut tak senang.
"Ada yang mau gue omongin," tukas Aslan seraya menarik tangan Isla.
"Eh?" Isla kebingungan saat kakinya terseret oleh langkah besar Aslan. Ia tak bisa protes karena sibuk menyeimbangkan kecepatan langkahnya dengan Aslan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Ficção Adolescente⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...