50. Kehadiran Gila

38 3 0
                                    

Aslan tergeletak tak berdaya di lantai apartemennya.

Sebelumnya, Tyan yang mengantarkan Aslan ke sini karena laki-laki itu pingsan secara tiba-tiba. Tyan yang masih memiliki stamina untuk bergerak, dengan baik hati mengantarkan Aslan pulang.

Namun, hanya sampai di sana. Tyan tak peduli akan Aslan lagi.

Tak lama kemudian, Araafi datang. Laki-laki itu tak terkejut lagi dengan kondisi Aslan sebab sebelumnya ia telah mendapatkan informasi tentang perkelahian Aslan dan Tyan. Ia hanya tak tahu tempatnya di mana karena Tyan memang merahasiakannya.

Laki-laki muda itu memang masih sepintar dulu. Araafi yakin Tyan tahu dirinya tengah diintai orang-orang Ardeuz.

"Hm? Telepon siapa, ya?" Araafi bertanya sendiri saat mengambil ponsel Aslan di saku celana adiknya itu. Araafi menggulir layar, mencari-cari nama kontak untuk dimintai bantuan mengurus Aslan. "Ayah? Sama aja cari mati. Ibu? Pasti sibuk video call sama ibu-ibu. Kaisayang? Siapa, nih?"

Araafi menelepon Kaisayang tanpa berpikir panjang.

"Oke, di-reject," kata Araafi kecewa, tapi wajahnya datar. Araafi kembali menggulir layar ponsel itu. "Arkangen? Fotonya cowok. Oh, ini sih si Arkais. Lah? Berarti Kaisayang itu si Kaisar, ya." Araafi menatap horor Aslan yang masih tak sadarkan diri di bawahnya. "Anjir, lo nggak homo, kan, Lan?"

Sadar Aslan tak akan menjawab pertanyaan khawatirnya, Araafi kembali menatap layar ponsel Aslan.

"Eh, ada Islakusayang." Araafi tersenyum lega. "Pasti cewek tulen, nih."

"Halo?" Tak lama panggilannya tersambung dengan orang di seberang.

"Halo?" Ternyata bertulan perempuan. Suaranya manis dan lembut.

"Dengan Isla?"

"Iya. Ini siapa, ya?"

"Ini Kakaknya Aslan," bas Araafi cepat. "Kamu bisa ke sini sebentar nggak? Aslan luka-luka parah."

"Terus kenapa nggak Kakak obatin?"

"Aku alergi darah, La." Araafi mencari-cari alasan sebab ia malas mengurus Aslan atau membawanya ke pusat medis. Tujuan awalnya ke sini adalah berdiskusi dengan Aslan, bukan mengobatinya. "Ini aja lagi muntah-muntah."

Tak lupa, Araafi pura-pura muntah setelah selesai berkata.

"Oh yaudah, aku ke sana sekarang, deh." Suara Isla terdengar khawatir. "Eh, ke mana?"

"Apartemennya." Araafi menukas. "Nanti alamatnya aku kirim."

"Aku udah hafal, kok." Isla menjawab buru-buru. "Tunggu ya, Kak."

"Oke."

Sambungan telepon diputus dan hening segera menyelimuti.

"Hm, dia udah hafal apartemen ini." Araafi tersenyum penuh arti. "Pasti dia seseorang yang berarti banget buat lo ya, Lan."

***

Isla cepat-cepat masuk ke dalam apartemen saat pintunya dibuka. Ia melihat seorang laki-laki di depannya, yang baru saja membuka pintu untuknya.

"Kak Aslan!" seru Isla dengan mata membulat. Ia sebelumnya khawatir, tapi kemudian merasa bingung. Tanpa ragu, ia menjamah wajah lelaki itu untuk diteliti. "Kok lo nggak kenapa-kenapa? Katanya luka-luka!" 

"Ini Araafi, kakaknya Aslan."

"Oh, Kakaknya." Isla segera menarik tangannya dari wajah Araafi dengan malu, tapi menutupinya dengan sok akrab. "Kok mirip, sih?"

Araafi tersenyum simpul. "Kan kakaknya."

"Oh, iya, ya." Isla malah semakin malu.

"Aslan di ruang tengah. Darahnya kayak mau abis, deh," lapor Araafi kemudian. Mengajak Isla masuk dan menemukan tubuh Aslan tergeletak begitu saja di lantai yang dingin.

"Terus kenapa nggak dibawa ke rumah sakit?" tanya Isla heran. Ia menyentuh leher Aslan dan lega karena denyut nadinya masih terasa.

"Aku kan baru nyampe di sini waktu Aslan udah ada di sana. Mungkin temennya yang bawa ke sini," balas Araafi.

"Ta—"

"Udah, sana obatin. Kayaknya nggak terlalu parah sampai harus dibawa ke rumah sakit, deh." Araafi duduk di kursi meja makan. "Aku tunggu di sini."

Isla menipiskan bibirnya, lalu kembali fokus melihat Aslan.

"Lah? Ini mah bukan luka-luka, Kak, cuma kurang tidur aja," simpul Isla. "Denger deh suara ngoroknya. Kenceng banget kayak sapi."

"Coba kamu liat tangannya, liat betisnya," suruh Araafi. "itu darahan banyak."

"Ya ampun!" seru Isla panik. Luka Aslan tak terlihat karena baju hitamnya. Ada luka terbuka di tungkai Aslan. "Kok Kakak baru ngasih tau, sih?!"

Araafi membuang napas gemas. "Dari awal kan aku udah bilang aku nggak bisa ngobatin Aslan karena alergi darah. Itu udah jelasin kalau Aslan berdarah. Bagian mana yang kamu artikan aku baru ngasih tau barusan?"

"Cerewet!" seru Isla keras. Lalu, ia mengambil kotak obat dan mulai mengobati luka Aslan sesuai protokol P3K.

Ingin Araafi menggigit tangan mungil Isla.

***

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang