Isla baru saja masuk ke dalam rumah dan hendak langsung ke kamarnya saat mendengar pintu rumah dibuka kembali oleh seseorang.
"Kak Kai?" Mata Isla membulat sempurna saat melihat Kaisar datang dalam keadaan yang sama sekali tak baik.
"Aduh," keluh Isla khawatir saat mendekat dan luka-luka di wajah Kaisar menjadi tampak jelas. Lebam, goresan berdarah dan kulit yang terbuka. "Kamu kenapa, Kak?"
"Sssttt," kecam Kaisar dengan tatapan tajam. Ia membuka seragam dan kaosnya yang telah basah dan kotor, melemparkannya asal. Kini, perut kotak-kotaknya yang lebam terpampang jelas. "Jangan bilang ke Ibu, apalagi Bapak."
Isla sedikit salah fokus pada badan tanpa busana Kaisar, tapi rasa khawatir lebih besar.
"Nggak, Kak, aku nggak akan bilang siapa-siapa." Isla membantu Kaisar berjalan untuk duduk di kursi meja makan. Isla menghadap Kaisar dengan tatapan cemas. "Sekarang Kakak bilang, Kakak kenapa bisa sampai luka-luka begini?"
Kaisar menggeleng lemah. Bukan hanya wajahnya saja yang hancur, tapi punggung dan perutnya tak kalah terasa sakit dan perih. "Gue juga nggak tau, tiba-tiba ada sekelompok orang yang gebukin gue,"
"Emangnya Kakak abis dari mana malem-malem begini?" tanya Isla.
"Rapat pensi."
"Rapat pensi?" Isla mengerutkan keningnya dengan tajam. "Tadi Kak Aslan sama aku, kok. Kakak bohong, ya?"
"Ini cuma dapat antara sekretaris sama seksi acara," jelas Kaisar, susah payah menyembunyikan perasaan iri tentang bagaimana malam ini Aslan dan Isla bersama-sama. "Aslan nggak hadir karena dua ketua pelaksana."
"Ooh," tukas Isla paham. Ia mengambil kotak obat dan mulai menotolkan kapas berbalut obat pada luka di wajah Kaisar. "Lain kali hati-hati, Kak. Aku nggak kuat liat Kakak luka-luka begini."
Kaisar menikmati wajah Isla dari dekat. Bagaimana seriusnya matanya menatap, lentik jarinya menggelitik wajah, juga embusan napas lembut yang hangat. Darah Kaisar berdesir hangat dan jantungnya lebih berdebar-debar seperti saat ia menonton film horor sendirian. Namun, debaran ini terasa sangat menyenangkan, sangat membahagiakan.
"Yang lo rasain sekarang adalah apa yang gue rasain waktu gue liat lo diganggu Tyan," ungkap Kaisar.
Gerakan Isla terhenti dan matanya bertabrakan dengan mata Kaisar.
"Jangan deket-deket Aslan lagi." Kaisar memohon dengan tegas. "Gue nggak akan pernah maafin Aslan kalau lo luka-luka lagi karena dia."
"Kak Aslan nggak salah, Kak," balas Isla membela Aslan dan membuat Kaisar makin geram. "Yang nyakitin aku bukan dia."
"Tapi lo luka gara-gara dia!" seru Kaisar berapi-api, membuat Isla terkejut dan refleks menjauh dari mata Kaisar tampak sangat marah. "Tyan itu musuh bebuyutannya Aslan! Apapun bakal Tyan lakuin buat singkirin orang-orang di sekitar Aslan. Apalagi yang lemah kayak lo."
Isla meneguk ludahnya susah payah. Ia ketakutan.
"Jadi, gue mohon, jangan terlibat lagi sama Aslan," lanjut Kaisar pelan. Ia sadar bahwa barusan caranya membentak Isla salah. Namun, ia tak merasa harus meminta maaf.
Isla mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan Kaisar. Namun, ini adalah hidupnya. Tak ada seorangpun yang harus ia turuti untuk menjalaninya. Isla bertanggungjawab atas hidupnya sendiri, untuk bahagianya sendiri.
"Kalau Kakak bilang gitu, apa aku juga boleh katakan hal serupa?" tanya Isla datar.
"Apa?" Kaisar membalas tanpa ragu.
"Keluar dari Askaar."
Kaisar langsung membuang napas hambar. "Gila aja."
Balapan adalah satu-satunya pengisi hati Kaisar saat ini. Askaar adalah satu-satunya rumah yang menerimanya apa adanya, menenangkannya dan membuatnya menjadi diri sendiri.
Kaisar tak bisa membayangkan dirinya keluar dari Askaar. Terlalu berat.
"Kenapa Kakak bahayain diri sendiri, sih?" tanya Isla kesal.
"Lo sendiri?" Satu alis Kaisar terangkat. "Kenapa deketin Aslan?"
Isla tak bisa berkata-kata.
"Tadi lo ngapain sama Aslan?" tanya Kaisar tajam.
"Nggak ngapa-ngapain."
"Jangan bohong." Tanpa sadar, Kaisar mencengkram tangan Isla hingga membuat Isla tercekat.
"Kok Kakak jadi kasar, sih?"
Itu karena gue peduli sama lo. Gue nggak mau kehilangan lo. Kata-kata itu tak bisa Kaisar suarakan dengan lantang karena ada yang menahan tenggorokannya.
Ketika Kaisar semakin mendekatkan wajahnya agar Isla memberitahu apa yang ingin Kaisar dengar, pintu rumah terbuka. Bapak dan Ibu di sana. Melihat bagaimana Kaisar tanpa baju atas, menegang tangan Isla dengan wajah yang akan menyatu jika Bapak tidak berteriak berang.
"Kaisar!" bentak Bapak dengan mata melotot panas. Menatap Isla yang terkejut luar biasa dan anaknya yang menatap malas secara bergantian. "Ada apa ini? Kalian berhubungan?!"
Bibir Isla langsung memucat saat itu juga. Ia sadar bahwa saat ini dirinya dan Kaisar melakukan kesalahan yang besar. Isla bisa merasakannya dari tatapan Bapak.
"Bapak," kata Kaisar seraya bangkit dari duduknya. Wajahnya memelas, tapi matanya menatap malas. "Kaisar bisa jelasin."
Bapak menatapnya tajam. "Ikut Bapak ke atas."
Setelah Bapak dan Ibu pergi ke atas, Kaisar hendak mengikutinya. Namun, lengannya ditahan Isla sebelum dua langkah Kaisar ambil.
"Kak Kai!" seru Isla cemas. "Jangan pergi sendirian."
"Lepas, La." Kaisar berkata malas.
"Aku ikut, aku juga harus jelasin biar Bapak ngerti," pinta Isla.
"Nggak usah," tolak Kaisar tegas. "Lo tidur aja."
Lalu, dengan tangannya yang dingin, Kaisar melepas tangan Isla yang menahan lengannya. Isla melepaskan Kaisar dengan berat hati. Ia hanya bisa melihat punggung lebam-lebam Kaisar hilang di balik tangga teratas yang tampak kesepian dan kelelahan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Novela Juvenil⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...