56. Saling Menusuk

53 4 0
                                    

"Bang, udah gue bilang jangan campuri urusan gue," kata Aslan geram, pada ponsel yang terhubung dengan Araafi di seberang sana. Saat ini dirinya masih ada di atap setelah membenarkan perasaannya. Angin meniup rambut acak-acakannya. "Gue nggak akan diem aja."

"Kalau lo turutin omongan gue, gue nggak akan lakuin apa-apa," tukas Araafi santai. "Sebenarnya, gue belum lakuin apa-apa, sih. Tapi, mau."

Aslan mengerutkan keningnya tajam. "Bukan lo yang pasang banner di gapura sekolah gue?"

"Bukanlah." Araafi tertawa hambar. "Nggak ada kerjaan banget gue pasang itu."

Aslan langsung memutuskan panggilan telepon itu dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Aslan memukul semen keras di depannya dengan rahang mengerut.

"Terus siapa Bangsat yang ganggu hidup gue?"

***

Makan malam selalu menjadi kegiatan paling horor bagi Kaisar. Bukan hanya karena ia harus berhadapan dengan Bapak yang seolah merenggut seluruh bahagianya, Bapak juga kerap mengatakan sesuatu yang membuat Kaisar lemas.

Apalagi setelah ada banner sialan itu di gapura sekolah, Bapak pasti tak akan tinggal diam.

"Siapa ketua Askaar?" tanya Bapak, tepat seperti dugaan Kaisar. Menahan kepergian Kaisar setelah makanannya habis. "Dia ada di sekolah kita?"

"Itu cuma rumor, Pak." Kaisar menukas datar. "Ketua Askaar ada di luar. Bukan seseorang yang ada di dalam sekolah."

"Kamu jujur, kan?"

Jantung Kaisar berdetak amat kencang, tapi wajahnya bisa dikendalikan agar tetap tampak santai. "Iya, Pak."

"Kalau kamu bohong, tau kan apa yang Bapak lakuin?"

"Iya, Pak."

Kaisar tak mau lagi berurusan dengan Askaar. Ini adalah langkah terakhirnya untuk membantu Aslan. Kaisar berjanji untuk dirinya sendiri.

***

"Lan, gue tau gue nggak berhak campuri urusan Askaar lagi, tapi gue pikir lebih baik lo mundur dari jabatan ketua lo." Kaisar berkata lewat sambungan telepon dengan Aslan pada malam yang sama setelah Bapak bertanya. "Bapak gue curiga dan gue bohong biar lo aman. Gimana?"

Aslan terdiam lama di seberang sana. Ucapan Kaisar menamparnya keras.

"Ini bukan cuma tentang lo, Lan," lanjut Kaisar tegas. "Ini juga tentang sekolah. Citra Askaar udah luar biasa jelek di mata orang-orang. Coba lo pikirin matang-matang."

Sebenarnya Aslan juga mulai merasakan hal yang sama. Sementara Kaisar dan Arkais keluar dari Askaar, Aslan merasa tak begitu semangat untuk mengurus rumah keduanya.

Apalagi Araafi terlalu kuat untuk ia lawan, untuk ia tentang. Aslan tak mau menyakiti orang-orang tersayangnya lagi karena sifat keras kepalanya.

"Oke, Kai." Aslan akhirnya menjawab dengan berat. "Makasih sarannya. Gue bakal kasih Tyan buat jadi ketua sementara."

"Keputusan yang bagus."

***

Sebuah film yang sebelumnya membuat Isla berhubungan dengan Aslan, tak berakhir bahagia.

Tokoh perempuan menyebarkan rahasia tokoh laki-laki demi keuntungan pribadi. Tokoh laki-laki marah dan membenci tokoh perempuan.

Lalu, kedua tokoh utama berjalan berlawanan dan tak pernah bersinggungan lagi.

Isla membayangkan dirinya sebagai tokoh utama dari film itu dan bertekad membuat akhirnya menjadi bahagia.

Namun, sama seperti film itu, Isla dan Aslan mengakhirinya dengan buruk. Saling menyakiti.

***

Setelah hubungannya dengan Aslan hancur begitu saja, Isla dijauhi Raya.

Sepertinya status orangtua Isla telah tersebar dalam satu kelas. Sikap mereka terlihat berbeda saat Isla masuk ke kelas.

"Wah, ada anak pembantu yang ngaku-ngaku anaknya reporter, nih!" Raya berseru, mengawali suara-suara menyakitkan lainnya.

"Jijik banget nggak, sih?"

"Itu muka atau kulit sapi? Tebel amat deh, heran." 

Bukannya disambut oleh senyuman hangat dan salam, Isla justru dilempari kertas kosong, tisu kotor dan gelas plastik bekas minuman. Bukan hanya saat ia masuk ke kelas, di setiap kesempatan, ada saja orang-orang yang memperlakukannya seperti tempat sampah.

"Gue kira dia bakal malu, ternyata sama sekali nggak, ya."

"Anak orang miskin tuh emang kagak tau malu."

"Untung dari awal gue nggak gaul sama ya ampun. Terima kasih Ya Tuhan, telah dijauhkan dari si munafik ini."

Isla tak bisa melawan sebab dirinya hanya sendirian. Dirinya jelas kalah jumlah.

Apa yang Isla lakukan hanya diam. Ia menahannya. Demi Ibu. Demi dirinya sendiri.

Seseorang yang dulu selalu di sebelahnya, menyemangatinya, berada di pihaknya, kini menjadi pemimpin dari kelompok orang yang merisaknya. Raya benar-benar bukan seseorang yang Isla kenal sekarang.

Saat pulang, Isla dilempari telur. Ia kaget sekali saat tiba-tiba kepalanya terasa sakit, kemudian cairan kental bau amis untuk mengalir di rambutnya, mengenai seragamnya, mengotorinya.

Isla berbalik. Matanya refleks memejam saat telur-telur lagu mengerangnya. Entah sejak kapan Raya dan Shita bersatu. Mereka adalah pemimpin dari kekacauan yang terjadi pada Isla saat ini.

Murid-murid dari kelas lain mulai mengelilinginya, melihatnya dengan seru. Bahkan ada yang merekamnya. Semua orang menganggap Isla sedang ulang tahun dan lemparan telur ini adalah bagian dari kejutan.

"Jijik banget, iwh!" seru Raya puas. "Gimana rasanya, La? Lo udah habisin seratus ribu uang gue biar sadar tempat! Tempat lo tuh di sana! Yang bau-bau!"

"Sekarang terigunya, Ray?" tanya Shita semangat.

"Boleh," balas Raya dan satu kilogram terigu mulai ditumpahkan di atas kepala Isla. Membuatnya seperti kue tak jadi.

Rasanya lengket, memalukan dan menyakitkan. Dan Isla hanya diam saat merasakannya. Kakinya seperti beku, bibirnya seperti dijahit hingga tak bisa bersuara, menyuarakan kemarahannya karena diperlakukan tak manusiawi.

Kaisar melihatnya di atas sana, di lantai dua depan kelas. Ia hendak menemui Isla, tapi segera menghentikan langkahnya saat melihat siapa yang telah melindungi Isla di sana.

Aslan datang, menyeruak pada kerumunan, lantas membuka jas seragam sekolahnya untuk menutupi kepala Isla. Tak peduli Isla bau amis, kotor dan lengket.

"Lo, lo, lo," tajam Aslan pada Raya, Shita dan teman-temannya. "Temuin gue di ruangan OSIS besok. Lo juga," tunjuknya pada ketua kelas Isla, lalu beralih pada orang-orang yang menonton. "Semua yang nonton dan ketawa saat ini, jangan harap besok hidup lo bakal baik-baik aja."

"Isla ulang tahun, Kak!" seru Raya membela diri. "Ini cuma seneng-seneng!"

Aslan merasakan bahu Isla mulai bergetar dan membunyikan isak tangis setelah Raya berseru.

"Berisik lo!" muak Aslan. "Gue nggak akan tertipu sama omongan bangsat lo!"

"Hei, Isla. Bukannya lo seneng juga dikasih suprise sama kita-kita?" tanya Raya lantang. "Iya, kan?!"

Isla membeku di tempatnya. Namun, matanya menatap lurus pada Raya, Shita dan teman-temannya lewat rambut-rambut yang telah lepek, basah dan putih.

Kini, melalui Raya, Isla bisa mengerti apa arti persahabatan dan perjanjian kelingking yang sebenarnya.

"Isla, besok gue traktir di Starbucks deh kalau lo bilang ke Kak Aslan kalau lo senang sama telor yang kita lempar!" seru Shita memaksa.

"Ayo, La," ajak Aslan, segera mengarahkan bahu Isla untuk berbalik dan menjauh dari orang-orang jahat di belakang sana.

Biasanya memang ada pembullyan, tapi korban mengatakan bahwa situasi itu jangan bercandaan dan ia menikmatinya.

Namun, Aslan tak akan pernah membiarkannya perempuannya terluka.

***

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang