Malam Minggu ini Aslan tidak bisa main-main keluar atau mengusik channel YouTube Isla untuk mendapatkan kesenangan. Tes masuk perguruan tinggi incarannya dilaksakan sebentar lagi dan tak ada waktu bagi Aslan untuk bermalas-malasan.
Tiba-tiba, Arkais datang ke apartemennya. Laki-laki itu tak membawa apa-apa hingga Aslan bertanya-tanya tentang kedatangannya ke sini.
"Tumben datang." Aslan menyambut dengan senyuman remeh. "Kangen lo?"
"Najisnya nggak ada obat." Arkais memutar bola matanya dengan jengah. "Tapi bener, sih. Gue kangen sama lo. Sampai mau mati rasanya."
"Jijiknya nggak ada obat," tukas Aslan bergedik kecil. "Ada apa?"
Arkais tersenyum tipis, lantas duduk di sofa sebelah sang tuan rumah. "Basa-basi dulu jangan?"
"Gue nggak ada waktu malem ini. Ada tugas yang belum kelar gara-gara sibuk pensi kemarin, mau belajar buat sbm juga," papar Aslan. "Jadi, langsung saja tanpa basa-basi."
Arkais mengangguk kecil. "Sama kayak Kaisar, gue mau keluar dari Askaar."
"Kalau mau becanda, sekarang ini bukan waktu yang tepat, Ar." Wajah Aslan langsung mengerut tak suka. "Gue abis stress gara-gara abang gue. Lo jangan tambah beban otak gue."
"Gue serius, Lan." Arkais menunduk, lalu tertawa hambar. "Gue nggak pantes ada di sini. Gue nggak pantes ada di lingkungan yang sama kayak lo."
Aslan bergerak untuk duduk lebih dekat, memerhatikan Arkais lekat. "Lo nggak suka balapan lagi?"
"Gue fokus kejar cita-cita gue aja. Gue nggak mau ada noda jelek di riwayat hidup gue."
"Gue udah temuin orang yang mau nodain Askaar," jelas Aslan, mencoba menenangkan Arkais. "Dari awal, kita nggak bikin Askaar buat sesuatu yang jelek, Ar. Gue pastiin nggak akan ada masalah lagi ke depannya. Gue udah beresin semuanya."
"Gue nggak peduli itu," balas Arkais begitu saja, membuat Aslan sangat-sangat tersinggung. "Gue cuma mau keluar, Lan."
"Gue nggak tau masalah lo apa," tukas Aslan berusaha rasional, "tapi bisa nggak jangan ambil keputusan semudah itu? Bukannya Askaar udah lebih dari keluarga buat lo?"
"Menurut gue, keluarga adalah yang menolong gue buat capai cita-cita, bukan yang menghibur gue saat stress di jalan menuju cita-cita," papar Arkais.
"Apa?"
"Gue yang bikin panggung roboh," aku Arkais dengan harga diri yang telah ia hanyutkan sampai tak bersisa. "Si bego Kaisar udah tau, tapi dia diem aja. Dan yang lebih bego lagi lo, yang nggak sadar kalau temen terdekatnya berkhianat."
Mata Aslan membulat sempurna. "Apa?"
"Tonjok aja gue kalau itu bikin lo merasa lebih baik." Arkais tersenyum lebar hingga dekik pipinya muncul. Ia tampak manis hingga Aslan menjadi segan memukulnya. "Gue nggak keberatan. Gue emang salah."
Namun, Aslan tak bisa menahan tangannya. Ia menarik baju Arkais, membawanya berdiri dan menghadiahkan satu pukulan di rahang kirinya. Teman terdekat Aslan itu langsung tersungkur di atas lantai yang dingin.
"Kenapa lo begini, Ar?!" murka Arkais. "Kenapa, Bangsat?!"
"Gue nggak lahir di keluarga sempurna kayak lo, Anying!" Balas Arkais tak kalah murka. Ia masih terduduk di lantai saat mencurahkan seluruh derita yang disimpan rapat-rapat sebelumnya. "Gue cuma anak jalanan dekil yang dipungut karena otak gue! Gue bisa ada di sini karena orang tua Darez! Sekarang, Darez udah pinter kayak gue, pastinya orang tuanya nggak butuh gue lagi!"
"Muak buat gue bilang," aku Arkais pahit, "tapi Darez bakal bujuk orang tuanya buat terus adopsi gue kalau gue ngelakuin sesuatu."
"Darez?" Kening Aslan mengerut, menciba untuk mengingat sesuatu. "Orang yang suka sama Jasmine?"
"Iya. Dia, orang yang suka sama Jasmine dan mau rebut dia dari lo," tukas Arkais. "Tapi dia kalah balapan dan akhirnya biarin Jasmine jadi punya lo."
"Dari awal, Jasmine emang nggak suka sama dia." Aslan mencari pembenaran.
"Lo nggak tau, Darez yang duluan kenal sama Jasmine." Arkais mengeraskan rahangnya. "Dia yang duluan suka sama Jasmine."
"Oke." Hanya karena hati, semuanya jadi hancur. Aslan tertawa hambar. "Terus?"
"Dia dendam sama lo. Dia mau lo dipermalukan di seluruh sekolah. Dia mau lo dihujat karena nggak becus jadi ketua pelaksana Pensi. Tapi ujungnya lo tetep ada di atas. Lo nggak dihujat. Tapi, ternyata itu tetep bikin Darez puas karena dia bikin orang yang lo sayang terluka," papar Arkais.
"Dia mau lo rasain rasa sakit saat nggak bisa peluk seseorang yang disayang," lanjut Arkais. "Darez ngira Isla bakal marah sama lo, terus bikin lo menderita."
"Itu emang bener." Aslan tersenyum pahit, teringat bagaimana sesaknya saat Isla tak mau melihatnya, tak mau mendengarnya dan tak mengharapkan kehadirannya.
Aslan lalu mengulurkan tangan pada Arkais untuk menolongnya bangkit kembali. Arkais menerima uluran tangan itu. "Selamat, usaha lo buat Darez sukses besar."
Arkais tak enak hati. "Maaf, Lan."
"Gue ngerti, Ar," balas Aslan. "Askaar atau gue nggak seberarti cita-cita lo."
"Gue lega lo paham."
"Gue yang ajak lo masuk Askaar," kata Aslan seraya tersenyum kecil. "Tentu aja gue terima pengunduran diri lo. Juga tugas terakhir lo. Lo bikin gue lebih hati-hati buat percaya orang-orang terdekat."
"Bagus kalau gitu." Arkais tersenyum, tapi wajahnya sama sekali tak senang. "Lo emang kurang waspada."
Aslan menganguk-angguk, menerima kritik sahabatnya yang satu itu. "Lo boleh pergi, Ar."
"Lo boleh nangis, Lan." Arkais menepuk pundak Adakan pelan. "Tapi jangan bunuh diri. Apartemen lo kurang tinggi. Bukan tubuh lo yang bakal mati, tapi otak lo."
"Pinter banget lo bercandanya."
Setelah Arkais pergi dengan perpisahan yang menyedihkan, Aslan merasa sangat kedinginan di apartemennya sendiri. Hari ini, ia kehilangan kepercayaan pada dua orang yang sebelumnya ia anggap sebagai belahan jiwa.
Aslan tertawa, tapi ia menangis. Hatinya retak-retak, lalu hancur bersamaan dengan rasa sesak yang mencekik.
Tak ada yang menyedihkan daripada dikhianati orang-orang yang sangat ia percayai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Teen Fiction⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...