Aslan meminta Isla mendatanginya di atap. Laki-laki itu memasang wajah tajam saat Isla datang. Isla yang merasa hubungannya telah membaik, kini merasa hubungan itu kembali retak.
Isla lelah, tapi ia tak bisa lari dan membuat semuanya semakin runyam. Tak peduli hatinya tersakiti saat Aslan menatapnya dingin, Isla tetap balas menatap sepasang mata singa itu.
"Lo masih asisten gue, lho." Aslan mengingatkan.
"Iya, terus?" Isla menaikkan satu alisnya.
"Tapi masa asisten masuk gitu aja ke rumah tuannya padahal nggak diminta?" tanya Aslan tak senang. Ia benci bagaimana tadi malam Isla masuk ke dalam apartemennya, lalu berbicara dengan Araafi tanpa hati-hati, bahkan sampai tertawa dan diacak-acak rambutnya.
Aslan tahu semuanya karena melihat CCTV.
"Kakak lo yang minta, Kak," jelas Isla dengan nada rendah, berharap Aslan tak terbawa emosi. "Lagian lo juga luka-luka. Kalau gue nggak nolongin, mungkin lo udah kehabisan darah sekarang. Nggak bisa ya bilang makasih tanpa marah-marah?"
"Siapa yang marah-marah?" tanya Aslan keras kepala. Dia bertanya saat seluruh otot wajahnya tampak sangat marah.
"Kakak!" seru Isla muak.
"Kapan?" Aslan mengangkat kedua tangannya dengan kedua alis tertaut pura-pura tak kesal. "Mana?"
"Dengan lo tanya gitu, udah membuktikan kalau lo emang marah." Isla menukas tegas, lalu berjalan lebih dekat untuk menusuk dada Aslan dengan telunjuknya. "Kalau lo nggak marah, lo dada lo nggak bakal kembang-kempis kayak gini!"
"Okay." Aslan menahan tangan Isla, lalu menggenggamnya. Ia membuang napas panjang. Tatapan matanya mulai berubah lembut. "Gue cuma nggak suka lo ngomong sama Kakak gue kemarin. Apa yang kalian omongin?"
Isla menggeleng pelan. "Nggak ada."
"Bohong. Lo keliatan seneng, terus kaget." Aslan menatapnya tajam lagi. "Kenapa? Apa yang Kakak gue bilang?"
"Nggak ada, Kak."
"Jawab, Isla." Aslan mengeratkan genggamannya pada tangan Isla. Tanpa sadar, terlalu erat sampai mencekik pergelangan tangan Isla.
"Sa ... kit," ringis Isla.
"Maaf," kata Aslan cepat. Ia segera menjauhkan diri karena sadar dirinya sangat bersalah.
Isla masih di tempatnya, menatap Aslan yang semakin frustasi dengan wajah terkejut.
"Arrrgghh!" Aslan menarik rambutnya. Matanya memerah lagi, marah lagi. "Ini karena gue khawatir sama lo! Kakak gue tuh bukan sembarang orang yang bisa lo ajak ngomong gitu aja!"
"Tapi dia kan Kakak lo," tukas Isla menyimpulkan seenaknya.
Rahang Aslan mengeras. "Dia beda sama gue."
"Emangnya lo lebih aman dari Kakak lo?" tanya Isla menusuk.
Aslan terdiam. Ia tak bisa menjawab karena dirinya tak bisa menjamin keamanan Isla. Kakaknya tak berbuat apa-apa pada Isla semalam, sementara Aslan pernah membuat Isla dalam keadaan tak aman.
"Lo sama aja, Kak." Isla menatap Aslan dingin. "Lo juga bahaya buat gue."
Bahaya terhadap hati, lanjut Isla dalam hati. Ia sendiri tak mengerti mengapa dirinya bersikap dingin pada Aslan sekarang. Padahal, ia tak tahan melihat wajah menderita Aslan. Hatinya juga ikut sakit.
"Sekarang gue udah nggak bahaya." Aslan menyangkal setelah lama berpikir.
"Kenapa lo bisa bilang begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Teen Fiction⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...