Setelah membeli baju untuk Isla, memintanya untuk segera berganti baju, Aslan membawanya ke pantai terdekat. Aslan pernah ke sana untuk liburan bersama keluarga, yang sayang sekali tanpa Araafi.
Pantai itu masih bagus seperti satu tahun yang lalu. Juga sepi sebab belum masuk pekan liburan atau hari libur.
Isla tak menolak saat Aslan mengajaknya untuk menapaki pasir dengan telanjang kaki. Lalu, duduk bersebelahan dengan ujung jari-jari kaki sesekali disapa ombak pantai yang lembut.
Jujur, Aslan takut Isla sangat marah padanya. Aslan paham bahwa Isla dibully karena fakta orangtuanya telah diketahui orang-orang dan itu gara-gara Aslan.
Namun, setelah bermenit-menit berlalu, setelah angin pantai berembus sejuk, sore mulai tertelan malam dan burung-burung mulai kembali ke sarangnya, Aslan masih belum membuka suaranya.
Begitupula dengan Isla. Perempuan itu lebih suka melihat matahari di ujung sana, yang perlahan tenggelam untuk menyinari bagian bumi lainnya.
Lalu, gelap benar-benar menyapa. Meski begitu, tak terlalu gelap hingga Isla tak bisa lagi melihat ketampanan Aslan yang masih berhasil melemahkan hatinya. Sebenarnya bukan hanya ketampanannya yang melemahkan, tetapi juga perhatian yang diberikannya, pada langkah dan tangan yang selalu berusaha melindungi Isla dari bahaya.
Isla kalah untuk menjadi egois dan pendendam.
Secara refleks, Aslan menatap Isla tepat di mata saat perempuan itu lebih dulu menoleh ke arahnya. Agak lama tatapan itu terjadi sampai Isla menyipitkan matanya dengan wajah lelah.
"Menurut lo, ini semua gara-gara siapa?" tanya Isla serak.
"Gue minta maaf buat itu." Aslan menunduk. Menarik napas berat dan menatap Isla dengan amat bersalah. "Gue emang salah paham. Gue ngaku salah."
"Permintaan maaf lo nggak bikin semuanya lebih baik, Kak." Isla mengerutkan keningnya, menahan air mata agar tak turun. Namun, justru hal itu membuat tangisnya muncul dengan cepat. Ia menangis lagi. "I hate you. So much."
"I love you too." Aslan mendekatkan wajahnya dengan tatapan teduh, lalu mengecup udara tepat di sebelah pipi Isla. "Muach!"
"Ih!" Air mata Isla langsung mengering.
Aslan tertawa renyah. "Apa?"
"Geli." Isla bergedik. "Jijik."
"Muach. Muach. Muach."
"Ish! Kak Aslan!" seru Isla merasa amat terganggu. "Berhenti, atau gue teriak?"
"Teriak aja. Nggak akan ada yang denger di sini." Aslan tersenyum menantang. "Liat aja. Cuma laut. Nggak ada orang-orang."
"Suka banget ya bikin gue emosi." Isla memutar bola matanya.
"Lo bilang gitu, tapi muka lo keliatan seneng."
"Seneng dari mananya?!" Mata Isla kini membulat sempurna.
Aslan mengulas senyuman di wajahnya. "Kalau lo udah teriak-teriak gini, artinya lo lagi seneng, menurut gue."
Isla tertawa remeh. "Gila aja."
Aslan duduk lebih dekat pada Isla hingga bahu keduanya bersentuhan hingga menimbulkan sengatan listrik mengejutkan bagi Isla. Lalu, Aslan mengambil kedua tangan Isla dengan wajah serius. Isla menatap mata Aslan yang berada tepat di depannya dengan jantung berdegup kencang.
"Gue bisa jadi temen lo. Gue bisa jadi sahabat lo. Gue bisa jadi fans lo. Gue bisa jadi perisai lo. Gue bisa jadi sayap lo," kata Aslan seraya menghapus jejak air mata di pipi Isla dengan lembut. "Gue bisa jadi apapun yang lo mau. Jadi, jangan sedih lagi, oke? Gue nggak serius tentang mau liat lo hancur."
Isla memejamkan matanya. Meluruhkan segala sakit yang ingin ia teriakkan pada Aslan..
"Anggap aja gue kerasukan waktu itu," lanjut Aslan dengan nada memelas.
"Enteng amat ya itu mulut." Isla berkata kesal. Ia segera menarik tangannya dari Aslan dan mengalihkan pandangannya ke depan. "Hati kalau udah luka, nggak gampang sembuh, Kak."
"Terus gue harus gimana?" tanya Aslan putus asa. "Gue pengen tebus semua rasa sakit yang lo rasain."
Isla terdiam lama. Lalu, ia teringat pertemuannya dengan Araafi malam kemarin. Laki-laki itu menjelaskan secara detail tentang misi yang hanya bisa dilakukan oleh Isla seorang.
Pada satu waktu, Isla menangkup wajah Aslan dengan tatapan tegas. Aslan terdiam pasrah, bagai tersihir oleh tatapan Isla yang sangat berbeda dari biasanya.
"Jauhin Askaar," pinta Isla. "Keluar dari Askaar secara permanen."
Jantung Aslan seperti diambil paksa dari tempatnya. "Apa?"
Lalu, Aslan semakin kehilangan akal dan jantungnya saat Isla tak menyisakan jarak antara bibirnya dan bibir Aslan.
***
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Novela Juvenil⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...