Hari ini Klub Harian Pelangi resmi dibubarkan.
Kania punya prestasi yang lebih tinggi daripada Isla, karenanya mudah untuk mencari alasan Kania's Daily lebih baik daripada Harian Pelangi. Lebih banyak yang setuju dan berada di pihak Kania daripada Isla.
Meski Ketua OSIS serta dua teman dekatnya telah memperjuangkan Isla, membelanya sebisa mungkin, suara mereka tetap lebih kecil dari Kania.
Rapat pemutusan klub sekolah itu berakhir tepat sepuluh menit setelah bel istirahat pertama berbunyi. Memang sangat singkat untuk menghapuskan klub yang telah Isla perjuangkan selama tujuh bulan lebih.
Anak-anak yang sebelumnya ikut rapat langsung menuju kantin untuk mengisi kekosongan perut masing-masing.
Beda dengan Aslan.
Aslan segera mencari keberadaan Isla setelah rapat selesai. Perempuan itu tiba-tiba lari keluar ruangan saat Aslan tertahan oleh Pak Oga dan Bu Adis tentang pembentukan klub baru serta data-datanya.
Aslan serta perangkat OSIS lainnya baru bisa keluar setelah lima menit berlalu.
Namun, bukan hal yang sulit bagi Aslan untuk menemukan keberadaan Isla.
Perempuan itu ada di atap.
Jelas, tempat Isla memang ada di atap. Tempat yang cocok untuk bersedih bagi orang-orang kebanyakan adalah tempat tinggal dengan angin segar dan pemandangan indah.
"Isla," panggil Aslan lembut.
Isla yang awalnya menundukkan kepalanya seraya terduduk rapuh, mendongakkan kepalanya untuk melihat Aslan yang ikut berjongkok di depannya.
Air mata Isla tak bisa disembunyikan lagi. "Semuanya udah hancur sekarang, Kak," adunya seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya.
Aslan langsung membawa kedua bahu Isla dengan tangannya hingga kening Isla tak berjarak lagi dengan dadanya. Aslan mendekapnya erat, lalu menepuk-nepuk punggungnya.
Tubuh Isla menegang sesaat sebelum akhirnya luruh dalam pelukan Aslan.
"Semuanya nggak hancur gitu aja, La. Masih banyak jalan menuju Roma. Jangan putus asa," pesan Aslan bijak.
Tangis Isla justru mengeras saat Aslan berusaha menenangkannya. Aslan tak berhenti di sana. Laki-laki itu menciptakan jarak kembali dan menghapus air mata yang membasahi wajah Isla dengan senyuman kecil.
"Udah, jangan nangis terus," kata Aslan. "Nanti air matanya abis."
Isla menarik ingusnya keras-keras, lalu menatap Aslan dengan mata merah dan bengkaknya. "Kak?"
"Hm?" Kedua alis Aslan terangkat.
"Boleh minta sesuatu?" pinta Isla.
Aslan terdiam agak lama. Ia berpikir keras. Menimang antara membiarkan egonya kembali menang, atau membuat senyum Isla kembali terbit.
"Oke." Tahu-tahu, kepalanya mengangguk. Tanpa membiarkan otaknya berpikir lagi, Aslan bergerak dan berkata menurut sejarah hatinya. "Kali ini biar kita swap. Gue jadi asisten lo. Lo mau apa?"
"Pengen bakpau cokelat," balas Isla pelan. Agak malu dan tak enak. "Sama air minum juga. Bawa ke sini."
"Oke. Tunggu sebentar di sini, jangan ke mana-mana. Gue bakal bawain apa yang lo mau," papar Aslan.
"Iya, Kak."
Ketika Aslan berdiri dan mulai melangkah cepat, Isla memanggilnya sebelum laki-laki itu hilang dibalik pintu keluar.
"Kak!"
Aslan berhenti melangkah dan berbalik. "Apa lagi?"
"Makasih banyak," kata Isla.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Teen Fiction⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...