23. Memutus Parasit

49 5 0
                                    

23. Memutus Parasit


Malam Minggu kembali menyapa. Isla kembali pada rutinitasnya, bernyanyi di Jalan Romantis. Isla akan membawakan lagu lama yang sempat dinyanyikan banyak orang di manapun dan kapanpun.

Waktu Yang Salah. Isla memang sesuka itu pada Fiersa Besari. Jika ia bisa, Isla ingin berkunjung ke rumahnya dan bernyanyi bersama-sama. Lagu-lagunya benar tipe ideal Isla.

Pasangan-pasangan di depannya menikmati dengan penuh hati. Beberapa menggerakkan kepalanya, melambai-lambaikan kedua tangan dan yang lainnya hanya duduk dari jauh, hanya menikmati suaranya untuk melepaskan penat.

Setelah selesai, Isla merapikan gitar ke tasnya. Malam ini berjalan lancar seperti biasanya. Setelah berbagi pendapatan, Isla pamit pada Alda dan Aldo untuk pulang. Dua kembar itu juga berbalik untuk pulang.

Isla memeluk dirinya sendiri saat berjalan ke jalan raya. Salahnya karena tak membawa jaket. "Angin, berhenti tiuo kulit gue! Dingin!" serunya mengeluh pada sesuatu yang tak berjiwa, apalagi bernyawa.

Isla memang sudah gila.

Bukannya berhenti, angin tampaknya senang bermain-main dengan Isla. Kini, menerbangkan rambut Isla sampai uang yang Isla genggam untuk ongkos terbang ke belakang.

Mata Isla membulat. Ia segera memutar badannya untuk mengejar uangnya yang terbang dan langsung berhenti bergerak saat melihat ada di mana uang itu berada. Tangan seseorang menangkapnya dengan sempurna.

Isla mengaitkan rambutnya ke telinga, lalu melangkah dan menengadahkan tangannya. "Makasih udah ambil uang gue, Kak."

Aslan tertawa kecil, lalu menaruh beberapa lembar uang Isla ke atas telapak tangannya. "Baru kali ini gue liat orang yang nyalahin angin karena kedinginan."

Rasa panas seketika menjalar ke wajah Isla. Saat ia hendak berbalik pergi, Aslan menarik lengannya hingga Isla tetap berada di posisi awalnya. Menghadap Aslan.

"Kalau dingin, salahin baju yang lo pake. Kenapa pake yang tipis and pendek," kata Aslan seraya memakaikan jaket kulitnya pada Isla. "Kenapa nggak paket jaket. Udah tau malem tuh selalu dingin. Kecuali kalau lo Princess Elsa."

Isla salting, lalu tak tahu harus berkata atau berbuat apa.

"Gue mau ngobrol sebentar sama lo. Nggak keberatan buat duduk dulu ke sana, kan?" tanya Aslan menunjuk sebuah kursi yang hanya muat berdua, dengan love di atasnya. Jelas-jelas itu kursi khusus untuk pasangan.

Isla semakin salting dan grogi. Namun, ia mengikuti langkah Aslan dengan malu.

"Sini duduk," ajak Aslan saat melihat Isla yang hanya berdiri saja.

"Kalau Kak Jasmine liat, gue pasti bakal jadi bubur ayam, Kak," ketus Isla.

Aslan tertawa renyah. "Tenang aja, Jasmine masih di London. Dia pulangnya lusa, masih lama."

"Ngapain di London?" Isla jadi kepo.

"Wawancara."

Isla ingin bertanya lagi karena wawancara sendiri punya artian banyak. Namun, ia gengsi.

"Sini duduk," kata Aslan, menarik paksa tangan Isla untuk duduk di sampingnya. "Harus selalu dipaksa dulu, heran deh."

Isla membulatkan matanya. Terkejut karena tempatnya tidak seluas yang ia kira. Bahunya bertabrakan dengan lengan Aslan yang keras dan membuat jantungnya ribut seperti demo.

Isla memejamkan matanya. Perasaan gila ini ternyata tak pernah berubah.

"Pertama-tama, gue mau tanya dulu," kata Aslan memulai. "Lo—"

"Gue pengen tanya duluan," potong Isla cepat. "Kenapa sekarang lo ada di sini?"

"Tempat ini bukan punya nenek moyang lo," ketus Aslan. Tak mungkin ia jujur. Mau ditaruh di mana wajahnya.

"OKE." Isla tiba-tiba kesal karena yakin Aslan tak akan menjawab dengan benar. Jadi, ia menyerah sana  "Jadi, lo mau tanya apa?"

"Di malam itu ...."

Kata-kata pembuka pertanyaan Aslan membuat Isla gugup.

"Di deket rumah Kaisar. Itu lo, kan?"

Isla berusaha tidak grogi. "Iya. Itu emang gue. Kenapa?"

Kalau Isla berbohong, akan jadi masalah karena Aslan melihat wajahnya dengan jelas dan Isla langsung lari. Jika berbohong, maka Aslan akan sangat curiga.

"Ngapain di sana?" tanya Aslan.

"Ada urusan administrasi tentang klub Harian Pelangi."

"Harus malem-malem, gitu?"

"Ya, emangnya harus siang-siang?"

"Iyalah! Aneh banget tau ke rumah Kakak Kelas malem-malem begitu cuma karena urusan administrasi, kecuali kalau emang ada hubungan khusus."

"Hubungan khusus apaan?! Jangan aneh-aneh deh, Kak!" seru Isla emosi.

"Ya, gue nggak bakal ngomong gitu kalau gue nggak liat lo masuk ke rumah Kaisar setiap hari," balas Aslan santai, beda dengan Isla yang terkejut luar biasa.

Saat Aslan menunjukkan beberapa fotonya yang masuk ke dalam rumah Kaisar, Isla merasa lidahnya kelu.

"Kalau satu sekolah tau—"

"Mau lo apa, Kak?" tanya Isla cepat. Ia merasa dejavu tapi terbalik, saat Aslan bertanya padanya seperti itu setelah Isla mengancamnya.

Aslan tersenyum penuh kemenangan. Sejak ikat rambut merah dan pertemuannya di malam itu, Aslan mengikuti mobilitas Isla setelah pulang sekolah. Dan terbukti benar. Kaisar dan Isla memang satu rumah, tapi ia tak mengerti apa alasannya.

Kaisar dan Isla sama-sama anak tunggal.

Dari reaksi Isla, Aslan dapat menerka kalau hubungan Kaisar dan Isla akan jadi bencana jika terkuak. Aslan tak peduli kebenarannya, yang penting ia bisa mengancam Isla.

"Gue mau lo hapus rekaman itu dan lupain tentang lima juta. Dengan begitu, gue nggak bakal bocorin rahasia lo," kata Aslan.

"Oke!" seru Isla langsung setuju. "Kita nggak usah berhubungan lagi, Kak."

"Deal."

"Tapi gue nggak bakal hapus rekaman itu."

"Apa?"

"Gue nggak bisa percaya gitu aja. Lo punya relasi yang bagus, keluarga yang mendukung, sementara gue cuma orang rendahan. Kalau lo masih simpen foto itu dan gunain itu buat hancurin gue, gue nggak punya alat buat kawan lo," jelas Isla tegas. "Jadi, gue bakal simpen rekaman ini. Lo juga boleh simpen foto-foto itu, Kak. Tapi, kita harus saling melupakan tentang itu."

Aslan mengangguk kecil. "Oke. Gue setuju. Kita impas."

"Deal."

Untuk kedua kalinya, tangan mereka berjabatan. Namun, bukan untuk mengawali sebuah kesepakatan, tapi mengakhiri sebuah keterkaitan.

***

Terima kasih telah membaca

28122020

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang