West menggulung lengan kemeja hingga siku, lantas duduk di tepi ranjang. Koper di depan lemari jadi fokus pandang. Benda itu kembung lantaran beberapa baju dipaksa muat. Pria itu lalu mengitarkan penglihatan ke seisi kamar. Beberapa jam lagi apartemen ini menjadi kenangan. Entah kapan dia bisa kembali.
Bus menuju Antananarivo berangkat dua jam lagi
West menekan tangannya ke ranjang, kejadian semalam amat menghadirkan rasa bersalah. Mayang menangis, sulit menerima kenyataan, dan amat kecewa. Apa mau dikata, di dunia ini tak ada satupun manusia yang mentolerir kebohongan.
Pria itu bangkit dari ranjang, kegelisahan mencengkeram. Ada satu hal yang belum dia sampaikan pada Mayang. Perihal keinginan East—yaitu meminta wanita itu ikut bersamanya ke Istanbul.
West lantas memutuskan keluar apartemen. Dia harus menuju rumah mungil yang tak jauh dari apartemennya itu. Dia tidak peduli respons Mayang nanti. Yang penting dia harus menyampaikan apa keinginan East, meski tahu Mayang tak pernah mau.
Langkah-langkah West panjang, napasnya setengah sengal begitu berada di depan halaman Mayang. Pria itu berangsur memelankan jalan sembari membenarkan tarikan napas. Pintu rumah Mayang terbuka. West memanjangkan leher berusaha menjangkau ke dalam. namun—
Tiba-tiba Mayang keluar.
Wanita itu tercekat. Sesaat Mayang defensif.
Ada jeda empat detik sebelum suara West terdengar di udara, "May—"
Mayang balik badan dan langsung menutup pintu, keras. Braak!!!
West tersentak kaget.
"Mau apa kamu kemari?" ujar Mayang di balik pintu, posisinya menyandarkan punggung ke pintu.
"Aku—"
"Aku sudah menerima lamaran Jaide," sela Mayang dengan suara lantang.
West gagu sekian detik. Sementara Mayang tak tahu kenapa dia mengatakan demikian. Seolah-olah balas dendam dengan memberi tahu kalau dia sudah termiliki.
"Aku mau pergi," ujar West lemah. "Balik ke Istanbul."
Mayang tak membalas. Cewek itu menunduk. Air diam-diam mengumpul di sudut mata. West akan kembali ke Istanbul. Mayang menangkup wajah, membuat air matanya merembes ke pipi.
"Sebelum aku pergi, aku ingin membuat satu pengakuan lagi."
Mayang melepas tangan dari wajah.
"East sedang sakit."
Sakit?
"Dia mengidap multiple myeloma," jeda West. Istilah dokter itu mengingatkannya pada kondisi East yang kurus kering. "Penyakitnya stadium akhir. Menurut dokter harapan hidupnya tidak lama." West mendekatkan diri ke pintu, lalu menempelkan telapak tangan di pintu sembari menekuk kepala. "East menyuruhku datang ke sini. Berpura-pura menjadi dirinya. East melakukannya karena ingin menempati janji padamu." Giliran air mengumpul di sudut mata West.
Mendengar itu Mayang makin sesunggukan.
"Sebelum aku pergi, aku ingin menyampaikan permintaan East." West menyeka air mata yang mulai jatuh dan menegakkan kepala. "Meski mungkin kamu tak akan pernah melakukannya setelah tahu segalanya," jeda West. "East ingin bertemu denganmu. Dia memintaku mengajak kamu ke Istanbul."
Mendadak Mayang seperti menyesal mengatakan kalau dia sudah menerima lamaran Jaide.
West menghela napas, sepertinya Mayang belum memaafkannya. "Aku pamit."
West selangkah mundur, menatap pintu sekian detik, berharap ada respons atau setidaknya pintu terbuka.
West menggeleng—sudah tiga menit, tak ada tanda-tanda pintu terbuka. Pria itu lalu benar-benar memundurkan langkah. Pergi, dengan kepala tertunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...