Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Mayang dan West sepakat tiga hari berikutnya menuju Ambodihariha. Wanita bernama Claude Nomenjanahary menjadi pencarian mereka berikutnya. Jika ditarik dari tahun 1994 berarti wanita ini sudah makin berumur sekarang. Menurut Umi Haifa beliaulah yang menitipkan Mayang di panti. Dalam perjalanan ada beberapa pertanyaan yang mengerubung di kepala Mayang. Siapakah Claude ini? Apa hubungan beliau dengan ibu? Mungkinkah beliau masih kerebat Ibu atau Ayah?
Bus yang mereka tumpangi masih melaju.
West yang berada di samping Mayang membuka percakapan. "Aku tak begitu yakin ibu Claude masih menetap di Ambodihariha."
..."Ini bahkan sudah dua puluh tahun yang lalu," lanjut West.
"Aku juga berpikir demikian," Mayang menjeda. "Tapi inilah yang harus kita tempuh. Petunjuk sekecil apapun itu, amat berharga."
West menghela napas, "Berdoalah agar semua ini terang."
Tepat pukul sembilan pagi mereka tiba di Ambodihariha. Kawasan ini berada di utara Toamasina.
Mereka menuju lingkungan paling padat di ujung Ambodihariha. Antara gedung-gedung dipisahkan lorong. Lingkungannya tumpah ruah antara toko, rumah penduduk dan fasilitas umum. Banyak sekali tulisan dan gambar gravity di dinding-dinding jalan. Sepintas Mayang merasa ngeri berada di salah satu blok. Terasa kelam. Beberapa orang yang berada di sini pun tampak mirip preman. Sebagian bertato. Bekas-bekas botol alkohol bertebaran di sebagian titik.
"Mendadak aku merasa agak takut," Mayang mengelus pundak sendiri.
"Perkampungan gelap sepertinya," West memandang beberapa bangunan bertingkat.
Bulu kuduk Mayang merinding, dari depan seorang pria tambun dengan perut buncit berjalan sempoyongan. Di tangannya terdapat kaleng wiski. Kemungkinan pria itu mabuk.
Mayang langsung memundurkan langkah dan berlindung di belakang tubuh West. Wanita itu berjalan pelan-pelan. Sesekali dia mengintip dari balik lengan West.
West yang bisa membaca keadaan langsung bersikap seperti bodyguard. Pria itu merentangkan tangan ke belakang seolah melindungi Mayang. "Tenang, kau akan aman."
Pemabuk tadi tampaknya tidak berbelok. Dia tetap berjalan menuju Mayang dan West. Mendadak pemabuk tersebut mengarahkan kaleng pada West. "Hei, kalian siapa?"
Mayang di belakang makin kalut.
Bagaimana ini? West menggigit ujung bibir. Dia tidak bisa menghindar. "Kami tidak mengganggu Anda, kami hanya ingin—" belum sempat West menyambung percakapan, pria pemabuk itu jatuh seketika. Efek mabuk membuatnya tak dapat mengontrol diri. Air di kalengnya tumpah. Dua detik kemudian pria pemabuk itu tampak kesusahan bangun.
West lantas memberikan aba-aba agar mereka melangkah cepat menemukan blok 7. "Orang yang sudah teler tak bisa mengontrol diri. Kita hanya perlu waspada."
"Untunglah dia tak bawa senjata tajam."
Tiga menit berikutnya mereka memasuki area dengan lorong-lorong yang agak sempit. Sepanjang lorong tampak beberapa perempuan berdandan menor. Alisnya tebal, gincu di bibir mereka merah menyala. Baju mereka agak terbuka. Rok mereka superpendek. Wanita-wanita itu memandang Mayang dan West dengan tatapan berbeda.
Barangkali hijab yang dikenakan Mayang membuat mereka demikian.
Mayang mendekati salah satu wanita yang mengenakan heels tinggi. Mayang memberikan alamat Ibu Claude. "Kau tahu alamat ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...