Piece of 25 (Part 2)

8 1 0
                                    

Keputusan West sepenuhnya kembali ke rumah, disambut baik Ayah dan Ibu. Sudah lama rumah ini kosong. Hanya beberapa bulan ini West kembali lantaran East sakit. Ayah dan Ibu seperti menyambut anak yang hilang.

Sementara itu, Mayang masih sering murung meski perlahan memudar. Toh pada akhirnya mereka harus merelakan. Kepergian East adalah keniscayaan. Meski sebenarnya melupakan adalah perkara yang cukup sulit.

"May," tegur West. Pria itu mendekati Mayang ketika wanita itu seharian di teras samping yang menghadap gazebo. "Kau memperhatikan salju?"

Mayang menoleh, dan sedikit mendongak agar bisa menjangkau wajah West. "East menyukai salju."

West tersenyum. "East tidak pernah menyukai salju," beber West, dia tahu betul kakaknya. "Dia melakukannya agar punya alasan untuk keluar. Saat suhu rendah seperti itu, tak ada satu pun orang yang mengizinkan dia keluar. Dan pasti kau dan aku melarang."

Seketika alis Mayang menjungkit.

"Hari itu di kekeuh keluar."

Berarti kemarin adalah cara East untuk menghabiskan waktu-waktu terakhir bersama mereka?

"Barangkali untuk sebuah perpisahan yang manis," sambung West.

Mendadak tubuh Mayang dingin, dan berkaca-kaca. "Aku merindukannya," ungkap Mayang lalu meneteskan air mata. Segar di ingatan ketika East bersandar di bahu, dan tertidur untuk selamanya. "Ternyata hari itu adalah waktu-waktu terakhirnya."

"Jangan terlalu bersedih. Kita semua pasti akan menghadapi ini."

Mayang menarik ingus, "Aku merindukan East."

---

Tak ingin Mayang dipeluk sedih terlalu lama, West mengajak wanita itu keluar ketika salju berhenti turun beberapa jam. Mayang tidak tahu ke arah mana mereka menuju, yang pasti mereka melewati tepi selat Bosphorus, menuju distrik Sariyer.

Mereka berhenti di sebuah lokasi luas dekat perbukitan. Mayang sempat melonggokan kepala keluar jendela, sesaat setelah mobil parkir. Pohon-pohon pinus yang sedikit meranggas menjulang di sekitar, salju-salju tertahan di sebagian daunnya. Jalan sedikit tertutup salju namun masih bisa terlihat. Beberapa tanaman juga masih bisa dilihat.

Mayang mengitarkan pandangan setelah mereka menapaki bukit. Satu pohon besar cedar menarik perhatiannya.

"Aku jadi ingat Bu Miary," Mayang menyebut atasannya di toko bunga.

West tersenyum. Jelas West hapal nama itu. Dia pernah bekerja di sana meski cukup singkat. Berkutat dengan bunga, melayani pelanggan dan membersihkan petakan.

Mereka melewati beberapa kembang.

"Kau membawaku ke sini untuk menghiburku?"

"Lebih dari itu," jawab West. "Kau ingat saat di toko Bu Miary kau pernah bertanya padaku tentang taman yang paling kusukai. Kujawab Taman Emirgan. Kau yang penasaran, bahkan memintaku untuk menemanimu ke sini jika suatu saat datang ke Turki."

Mayang lantas ingat.

"Nah inilah taman Emirgan itu."

Mayang mendongak ke atas, melihat ranting-ranting pinus. "Bahkan aku sudah lupa akan janji itu."

"Aku harus menepatinya, selagi kau masih di sini," ujar West.

Omongan West itu tiba-tiba seperti reminder padanya. Ya, tugasnya menemui East sudah berakhir. Dan mungkin sebentar lagi dia akan meninggalkan Turki. "Terima kasih sudah membawaku ke sini."

Taman Emirgan dikelola Kota Istanbul. Luasnya mencapai 117 hektar dan di kelilingi oleh tembok tinggi. Beberapa jenis, pinus, cedar dan cemara bisa ditemukan di sini.

"Sayang saat ini awal winter," West sedikit menyesal. "Kita tidak menemukan tulip satupun di sini, padahal itulah yang harus kutunjukkan padamu. Kebanggan Istanbul dan Emirgan adalah tulip-tulip yang mekar."

Mereka lalu duduk di bangku panjang yang tak jauh dari posisi awal. Beberapa pengunjung tampak di sekitar.

"Kau mau kopi hangat?" tawar West, meski salju belum turun. "Di kafetaria ada yang jual."

Mayang mengangguk.

West bangkit, lantas mendaki menuju salah satu paviliun. Di sini terdapat tiga paviliun yang difungsikan sebagai kafe dan restoran,

Taman di Toliara adalah taman terakhir yang pernah dikunjungi Mayang--saat itu bersama West mereka mencari ayahnya. Rasanya setiap mengunjungi taman ada kelegaaan.

Sementara itu, jalanan sedikit basah karena salju yang mencair. Mayang menyarungkan hoodie di kepala, lalu menggosok-gosokkan tangannya agar hangat.

Sudah sepuluh menit West pergi.

"Mayang..."

"Kau--" Mayang menoleh dan seketika menahan kata-katanya. Sapaan yang dia kira dari West ternyata bukan. Di samping bangkunya hadir Jaide. Kenapa dia tiba-tiba di sini. Pria itu mengenakan jaket hitam tebal, panjangnya sampai melewati lutut.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Mayang sedikit kagok, lantas menggeser posisi seolah menyilahkan pria itu duduk.

"Aku datang bersama Hakan," jawab Jaide sembari menunjuk ke arah utara taman, di sana ada Hakan yang sedang sibuk dengan kamera. "Salju membuat kami bosan. Makanya kami memutuskan untuk jalan-jalan."

"Duduklah," tawar Mayang.

Pria itu kemudian duduk. Dia menghela napas sebentar lalu mengembus perlahan, asap keluar dari hidung. "Cuaca lumayan bagus hari ini."

"...."

Mereka sama-sama meluruskan pandangan ke depan.

Entahlah sejujurnya tak ada yang ingin diobrolkan Jaide saat ini. Dia yakin Mayang masih merasa kehilangan. Pria itu memutar-mutar sol sepatu, sehinga salju di bawah bangku sedikit hempas. "Mungkin minggu depan aku akan pulang," cetus Jaide.

Mayang spontan menoleh.

"Istanbul tempat yang indah. Kurasa beberapa minggu di sini membuatku benar-benar fresh. Akan jadi cerita manis untuk mahasiswa-mahasiswaku nanti."

Mayang belum mau bicara, dia tahu pria di sampingnya ini berharap pada akhir bulan--sebuah kesepakatan yang dilegalkan bersama Ustad Salman, Umi Haifa dan Ayahnya.

"Hakan jadi tour guide yang baik padaku," lanjutnya.

Bunyi langkah yang beradu dengan salju terdengar.

Mayang dan Jaide sama-sama memalingkan wajah.

Ternyata West kembali, langkah pria itu terhenti lantaran tahu yang bersama Mayang adalah Jaide. Dua kopi digenggamanya sedikit bergetar.

"Mau kopi?" tawar West sungkan, entah sapaan apa yang pantas.

"Tidak usah," sela Jaide. Pria itu paham, sejatinya kopi itu bukan untuk dia.

"Tidak apa-apa, aku bisa beli lagi," sela West cepat-cepat, lalu meletakan kopi tersebut di samping Jaide dan kemudian setengah cepat mendaki lagi ke arah paviliun.

Tentu Mayang sadar, West sungkan dengan kehadiran Jaide. Atau mungkin dia tidak mau mengganggu obrolan mereka. Mayang bahkan mengekori West dengan ekor mata hingga pria itu hilang di balik pepohonan.

....bersambung

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang