Piece of 6

100 9 7
                                    

Engahan Mayang terdengar.

Penglihatannya melebar perlahan, samar-samar wanita itu melihat dinding dan menemukan jam gantung di ruang tamu. Pukul 08.17. Astaga, ketiduran! Mayang menepuk jidat. Tadi selepas sarapan wanita itu merileks punggung di sofa. Tahu-tahu dia masuk ke alam mimpi. Padahal semalam Mayang sudah tidur bahkan setelah isya. Rupanya tubuhnya butuh banyak waktu istirahat setelah perjalanan jauh Toliara - Toamasina.

Buru-buru Mayang menyeruput teh sisa di meja dan bangkit berlari menuju wastafel. Mayang membasuh muka seadanya, lalu mengambil sepatu dan berhamburan ke luar. Dia harus segera ke toko bunga, sudah terlambat. Bu Miary pasti marah, apalagi akhir-akhir ini Mayang sering meminta izin. Dalam obrolan terakhir Bu Miary memotong gajinya bulan ini tujuh persen. Jika hari ini dia terlambat, bisa jadi persenan potongan gaji akan semakin besar.

Mayang menumpangi bus.

Delapan belas menit kemudian wanita itu tiba di toko. Posisi toko diapit beberapa gedung besar. Toko tempatnya bekerja merupakan bangunan serba kaca mirip aula. Ruangannya luas dengan langit-langit tinggi. Bentuk bangunannya minimalis. Bunga-bunga ditata sesuai jenis; ada tulip, mawar, lili, anemone, kamelia, garbera, bunga matahari, aster dan puluhan bunga lain. Ada tiga pekerja yang mendampingi Bu Miary dengan aturan shift. Jika Mayang masuk pagi maka dua karyawan lain—Felana dan Mahera—membantu Bu Miary di shift siang dan malam. Selain memantau, tugas utama Bu Miary berada di belakang meja kasir.

Tarikan napas Mayang kasar. Bunga-bunga di geladeri toko sudah berjejer. Biasanya dialah yang bertugas mengeluarkan bunga-bunga itu. Berarti kemungkinan Bu Miary yang mengeluarkan. Sedikit kikuk Mayang mendorong pintu toko. Di belakang meja kasir yang berada pas dekat pintu, Mayang menemukan Bu Miary. Perempuan gendut itu memantaunya dengan ekor mata.

"Assalamualaikum," sapa Mayang takzim. "Maaf terlambat."

"Waalaikum salam," sahut Bu Miary, mimik beliau ramah.

Mayang mengerutkan kening, lazimnya Bu Miary akan sedikit judes. Malah ini sebaliknya.

"Bu Miary tak marah padaku?"

Bu Miary meletakkan tangan di meja. "Untuk apa ibu marah?"

Oke, ini keajaiban, Bu Miary menyimpan marah. Berarti ini pertanda potongan gajinya masih tetap tujuh persen. Atau mungkin saja ada sesuatu yang mengubah mood beliau. Tiba-tiba senyum Bu Miary makin lebar. Titik pandangnya menjauh sekitar lima senti ke belakang Mayang. Sepertinya—

"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," kata Bu Miary selanjutnya. "Lihatlah ke belakang!"

Mayang memutar tubuh menegok ke belakang. Mulutnya langsung menganga. Di depanya berdiri pria tinggi dengan kemeja rapi. Pria itu membawa sebatang kamelia pink. "East?" kaget Mayang. "Kamu ngapain di sini?"

Pria itu hanya mesem.

Sorot utama Mayang kini berpusat pada kamelia yang dipegang West. Bentuk kelopak bunganya menggembung dan fresh. Indah. Jika ini pernyambutan, rasanya bunga itu terlalu berlebihan.

"Dia sekarang karyawan di sini," Bu Miary mengambil alih percakapan. "Dia yang menata bunga di geladeri yang seharusnya jadi tugasmu. Dan, dia juga yang menjamin gajimu tidak dipotong bulan ini."

Apa yang sudah disepakati pria Turki ini dengan Bu Miary?

"Jaminannya adalah, dia akan kerja selama beberapa minggu di sini. Tanpa digaji," Bu Miary bicara lagi.

"East?" Mayang separuh tak percaya. "Kau melakukan ini untukku?"

"Seperti yang kau dengar." West memutar-mutar batang kamelia.

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang