Piece of 10

67 4 0
                                    

Langit Toamasina cemerlang, bintang semarakkan malam. Embusan udara lembut, dan lampu-lampu dari gedung-gedung sekitar amat temaram.

Sejak tahu Paman Bien adalah ayah kandung Mayang, West jadi tamu hampir tiap malam di kediaman beliau. Paman Bien mengajaknya ngobrol soal apa saja—pengalaman, pekerjaan, masa muda, kadang soal kehidupan pribadi. Paman Bien melakukannya demi mengusir sepi usai Rinja memutuskan minggat.

Kursi di meja penyekat ruang utama dan keluarga, jadi teman West dan Paman Bien malam ini. Sebotol wine tegak di meja, juga dua buah gelas kecil. Botol wiine tinggal setengah, sementara satu gelas di depan Paman Bien hampir rata di pantat gelas.

"Benar kau tak ingin minum?" tawar Paman, beliau masih dapat mengontrol diri.

"Tidak, terima kasih," tolak West. Jika malam-malam lalu, obrolan mereka hanya ditemani dua cangkir kopi, namun malam ini Paman Bien tampaknya ingin menghangatkan badan.

"Orangtua paman tahu, kelahiran Mayang akan membuat masalah nantinya," sambung Paman Bien dari cerita sebelumnya. "Mereka berpikir jauh soal warisan, harta dan segalanya. Orangtua paman memaksa paman mengganti identitas agar Mayang dan ibunya tidak pernah menemukan paman," beliau meneguk sisa wine di gelas.

West mengetuk-ngetuk tepi gelas kosong di depannya.

Paman melirik ketukan jari West. "Kalau kau pengin silakan." Beliau menuangkan wine sambil berujar, "Terkadang kita perlu keluar dari aturan. Hidup terlalu kaku jika mengikuti norma yang diyakini banyak orang." Beliau kembali meneguk. "Paman tidak menyinggung soal agamamu," sungkan Paman begitu West melepas tangan dari gelas.

"Tak perlu sungkan," sela West. Obrolan mereka tempo hari dalam jamuan makan malam—terkait halal haram dalam Islam sepertinya dilupakan Paman Bien. "Saya tidak terbiasa minum."

Mendengar itu, Paman Bien terdiam sesaat. Beliau menghela napas, kemudian mengamati West. Lama. Tujuh detik berikutnya, beliau meneguk wine dengan sekali sungsang. Wajahnya masam seketika, sepertinya tenggorakan beliau teriak. "Pria yang manis," puji Paman Bien dengan suara bergetar. Tak lama beliau tertawa. Gerakan kepala beliau sedikit oleng. Paman meletakkan gelas di meja dengan sedikit kasar, sehingga menimbulkan bunyi. Kepalanya menunduk, meja kemudian memiliki banyak bayangan dalam pandangan beliau.

West hanya bisa memandang rambut Paman Bien.

"Kadang Paman ingin menjadi sepertimu," curhat Paman sendu. Selang sekian detik kepala beliau gerak-gerak, dan kemudian terdengar isakan. Pelan. "Tapi paman tak bisa."

West nanap Paman Bien menangis. Pria itu mengulurkan tangan, hendak menyapu kepala Paman Bien, namun ditarik lagi.

"Paman ingin jadi pria baik, ingin mengubah segalanya. Namun tak bisa," tangis Paman Bien. "Sekarang paman hidup dengan identitas palsu. Menjadi orang lain di depan Mayang. Dan..., kini Rinja pun meninggalkan paman," bahu Paman Bien makin berguncang, beliau meremas gelas wine kuat-kuat dengan isakan sedikit nyaring

West tak tahu harus berbuat apa. Pria itu akhirnya memutuskan memegang punggung Paman Bien. Sebab beliau butuh dukungan. Sementara itu meja kaca basah oleh air mata.

Setelah West menarik tangannya, Paman tampak diam.

West bingung, isakan Paman Bien lenyap tiba-tiba. Pria itu coba mengintai wajah Paman Bien. Seketika kepala Paman Bien terangkat, West tersentak. Dan kemudian mereka beradu pandang. West bisa melihat kristal air yang menutupi bola mata Paman Bien.

"Makanya itu Paman ingin Mayang berada di tangan pria yang tepat," ujar beliau dengan tarikan ingus. "Tolong jaga dia."

Embus napas keluar dari mulut West. Sejak awal bersua, Paman Bien simpati padanya.

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang