Mayang tak punya alasan yang tepat menolak permintaan Tante Reyyen bertemu Jaide. Beliau ingin bersua kolega Mayang dari Madagaskar, sekaligus ingin berterima kasih karena Mayang dibolehkan tinggal di Istanbul.
"Tante juga ingin mengenal keluargamu," sebut Tante Reyyen kemarin.
Mayang tak tahu harus menjawab apa, Jaide tak ada ikatan darah dengannya. Menjawab kalau Jaide calon suaminya? Bukan ide bagus sepertinya. "Nanti kusampaikan," hanya itu yang bisa Mayang katakan.
Dan benar saja sore itu Jaide datang ke rumah keluarga East.
Pria itu heran, rumah keluarga East lebih mirip istana daripada hunian. Pagarnya kokoh. Dua pilar di depan teras menegaskan kesan mewah. Terdapat bangunan-bagunana kecil di samping bangunan utama yang tersambung. Dinding-dindingnya dilapisi marmer, dengan halaman yang luas dan hijau.
Berarti peran West sebagai orang sederhana benar-benar sempurna saat di Madagaskar.
Seorang asisten rumah tangga menyambut Jaide.
Tak lama dari ruang tamu Tante Reyyen dan Mayang menghampiri.
Jaide memberi salam. Seperti ras Turk, paras Tante Reyyen perpaduan Eropa dan Timur Tengah. Jaide yang pertama kali melihat Tante Reyyen langsung dapat menilai kalau beliau benar-benar welcome dan ramah.
"Terima kasih sudah datang," sambut Tante Reyyen. "Pakai taksi?"
Jaide mengangguk. Dia sempat melihat Mayang berada di samping Tante Reyyen.
Pria itu mengikuti Mayang dan Tante Reyyen ke sebuah gazebo di sebelah kanan bagunan utama. Gazebo ini sering dijadikan tempat makan ketika ada tamu. Cukup luas, bisa menampung satu meja besar dan 6 buah kursi.
Dari kejauhan Jaide bisa melihat meja-meja itu sudah dipenuhi makanan.
"Om Emran sebetulnya pengin bertemu denganmu, tapi sayang harus duluan ke rumah sakit," Tante Reyyen terus bicara. "Bagaimana Istanbul menurutmu? betah?"
"Bagus, lebih bagus dari Toamasina."
Tante Reyyen menyilakan duduk, diikuti Mayang.
Hampir lima jenis makanan yang terhidang di meja. Hanya menemen yang diketahui Jaide. Menemen adalah kuliner pertama Turki yang dia nikmati saat Hakan menjemputnya di bandara tempo hari.
Tante Reyyen lantas meminta seorang asisten rumah tangga memanggil West di kamar.
Tak berapa lama West muncul. Namun langkah-langkah West seperti kurang bergairah ketika tahu ada beberapa orang di gazebo.
"Nah, ini kavurma buatan Tante Reyyen dan Mayang," tunjuk beliau pada potongan daging di wadah paling besar. "Waktu itu kami sempat bikin juga, sayang kamu tidak jadi singgah ke sini."
Jaide hanya tersenyum.
"Berarti di sini kau menyewa hotel?"
"Tidak. Kebetulan ada sahabatku waktu kuliah dulu di Kairo, yang kemarin ikut menjemput," jelas Jaide. "Dia menyewa rumah di sini."
"O."
Satu per satu Tante Reyyen menyendok makanan. Begitupun dengan West.
Mayang lantas meraih wadah kavurma dan menyemdokkan potongan daging ke dalam piring Jaide. West yang melihatnya menghentikan kunyahan, dia meletakkan sendok usai mayang menuangkan air ke dalam gelas milik Jaide.
Jaide bisa menangkap bahasa tubuh West yang aneh.
"Hubungan kekerabatan kalian gimana sih?" tanya Tante Reyyen memasukkan satu sendok menemen ke dalam mulut. Beliau penasaran.
Jaide mengintai wajah West, lalu mengintai wajah Mayang yang berada di sampingnya. Dia harus mengatakan apa? Mengatakan kalau dia adalah calon suami Mayang?
West mendadak mengunyah daging ukuran besar, sehingga menarik perhatian Mayang, Jaide dan Tante Reyyen.
"Makannya pelan-pelan dong," tegur Tante Reyyen pada West sebelum pria itu meneguk minum demi mendorong kunyahan ke dalam kerongkongan.
"Kami sama-sama dibesarkan di panti asuhan," ujar Jaide kembali ke pertanyaan Tante Reyyen. "Kami tumbuh bersama-sama."
"Benarkah begitu?" Tante Reyyen menaikkan alis.
"Panti asuhan mengajarkan kami mandiri."
"Itu bisa terlihat dari Mayang," puji Tante Reyyen. "Kata Mayang kau seorang dosen?"
"Ya."
"Hebat," puji Tante Reyyen lagi. "Tante jadi penasaran dengan panti asuhan kalian, kok bisa mendidik dua orang hebat seperti kau dan Mayang." Tante Reyyen kembali mengunyah. "West, tahun ini dana sosial kita masih bisa meng-cover bantuan internasional gak? Kayaknya kita harus memberi bantuan ke panti asuhan Mayang dan Jaide.
West hanya mengangguk seadanya.
"Nanti Tante bicarakan dengan Om Emran."
Alih-alih mengajak Mayang dan West mengobrol, Tante Reyyen malah asik dengan Jaide. "Harusnya kau bisa ikut tinggal di sini."
Spontan West menyeka mulutnya dengan serbet, lantas bangkit sehingga terdengar derit gesekan kursi.
Tante Reyyen langsung melihat ke arah West. Begitupun Mayang dan Jaide.
"Kayaknya sekarang aku harus ke rumah sakit," tutur West seolah itu pengumuman. "Aku duluan, kau boleh menyusul." ujar West pada Mayang.
Tante Reyyen menaikkan alis.
Mayang dan Jaide tampak memantau Jaide.
West menunduk isyarat pamit, lalu berlalu dari gazebo.
Mayang, Tante Reyyen dan Jaide kemudian melanjutkan makan. Tante Reyyen makin semangat membahas kegiatan Jaide di kampus. Sementara itu Mayang tergugu Matanya tertuju ke meja, namun pikirannya melayang jauh ke West. Dia paham betul apa yang membuat West tiba-tiba seperti anak kecil.
---
West mengetuk-ngetuk jarinya di setir. Sesekali dia menghela napas panjang. Entahlah kenapa dia berubah seperti anak kecil di gazebo tadi.
Dia sebelumnya sudah bertemu Jaide, seharusnya pria itu bisa bersikap lebih santai, lebih bisa mengontrol diri. West kemudian memukul-mukul kecil sisi samping setir. lalu mendongakkan kepala ke atas sembari menghembus napas panjang, aku cemburu, ya aku cemburu.
***
West mengambil pisau, dia meraih apel yang ada di meja. Pria itu hati-hati memotong. Posisinya membelakangi ranjang East.
"Mayang akan datang jam berapa?" tanya East.
West menoleh. "Aku tak tahu."
Raut East setengah layu. "Akhir-akhir ini jarang ke rumah sakit."
Roman muka East membuat West sedikit iba. Dia paham kalau kakaknya ini membutuhkan kehadiran Mayang. Dia saksi bagaimana East akhir-akhir ini bersemangat.
Namun sepertinya mulai sekarang East harus terbiasa jika sekali waktu Mayang akan alpa ke rumah sakit, sebab saat ini ada Jaide.
West menghentikan sejenak aktifitas memotong apel. Pria itu memutar-mutar pisau. Barangkali bukan saja East, tapi dirinya juga yang harus terbiasa dengan keadaan ini. Mayang bukan mutlak miliknya ataupun East. "Mungkin sedikit lagi," West mencoba menghibur East.
"Dia sudah perjalan ke sini?"
West kembali ke meja dan lanjut memotong apel. "Mau kukupaskan jeruk?" Pria itu
"Apel saja."
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...