"Jangan kelamaan mikir, kamar kosong banyak," Tante Reyyen kukuh mempengaruhi Mayang. "Rumah ini lebih nyaman dari hotel."
Mayang menyeruput air. Omongan Tante Reyyen penuh harap. Sementara itu pandangan Mayang liar ke mana-mana. Guci cantik nan elegan berada di pojok. Hiasan dinding berupa relief menonjol di beberapa dinding. Langit-langit menjulang ke atas. Mayang yakin sedang masuk istana.
Permintaan Tante Reyyen bikin bimbang.
"Rumah ini masih bisa menampung satu kapal."
Bola mata Tante Reyyen mengajak.
"Jika di sini, kita bisa bareng ke rumah sakit. East juga bakalan senang."
Mayang belum bersuara. Apakah dia harus menerima tawaran Tante Reyyen? "Nanti merepot—"
"Anggap Tante, orangtuamu," Tante Reyyen meraih tangan Mayang. "Ketika East sudah sangat amat percaya padamu, maka begitulah Tante, Om Emran dan West memperlakukanmu."
Mayang membasahi bibir.
"Jika merepotkan?"
"May, Tante tak suka mendengar itu. Orang minder tak pernah bisa mendapat keluarga baru, karena selalu tak enak hati."
"...."
"Penolakan untuk hal-hal baik itu—terkadang tak baik."
***
Di ruangan yang lumayan luas ini, terbaring tubuh lemah di hospital bed. Selimut putih menghangatkan. Bau obat sengat tercium. Angin yang masuk dari jendela, mengibaskan tirai.
Dekat ranjang, terdapat West. Pria itu duduk di bangku, mengamati East yang pulas. Rahang-rahang East makin tonjol. West sungguh iba, kepergiannya ke Istanbul tidak berhasil membawa Mayang.
West mengeluarkan sesuatu dari saku. Sebuah benda lingkar yang terbuat dari bulatan kayu. Pria itu mengikis satu per satu bulatan seolah sedang zikir. Pria itu menyapu font 'E'. West lalu menatap pergelangan tangan East lalu kembali fokus pada gelang.
West sendiri tak pernah memakai gelang ini, sebab dia tahu benda ini seharusnya berada di pergelangan tangan East. Pria itu kembali melihat tangan kembarannya. Tampaknya gelang ini kebesaran jika dikenakan East. Pergelangan East rasanya makin menciut hari demi hari.
---
Langkah-langkah Mayang dan Tante Reyyen lekas di lorong rumah sakit. Mayang iba mendengar cerita Tante Reyyen soal kondisi terakhir East. Pria itu katanya makin kehilangan bobot, selera makannya turun ketika West pulang tanpa hasil, bahkan beberapa kali East menolak obat.
"Ketika East hanya menginginkanmu, kami bisa apa?" ujar Tante Reyyen. "Tante, West dan Om Emran hanya bisa menenangkan."
Mayang mendengarkan.
"Mungkin West sudah mengarang cerita."
Mereka sudah di lorong lantai empat. Mayang takjub, rumah sakit ini begitu mewah. Desainnya modern, rapi dan lorong amat luas, beberapa kembang hidup di pojokan. Beberapa dinding berupa kaca besar sehingga mata segar memandang keadaan di luar. Fasilitasnya mungkin kelas satu di sini.
"Tapi melihatmu hari ini, Tante benar-benar bahagia," lanjut Tante Reyyen.
Mayang bisa menangkap hal itu.
"Kau tidak lelah kan?"
"Aku sudah cukup istirahat di pesawat tadi."
"Itu kamar East," tunjuk Tante Reyyen ke salah satu pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...