Piece of 25 (Part 3)

4 1 0
                                    


Sudah setengah Jam West mendekam di kafetaria. Dua gelas kopi sudah dia habiskan, setengah piring mehalabiya sudah ludes. Namun kaki pria itu berat untuk menemui Mayang di luar.

West merogoh sesuatu dari kantong celana. Sebuah gelang berinisial E. Gelang pemberian pak Elio di Toliara. West menyapu setiap bulatan gelang itu. Gelang yang tak pernah dia serahkan pada East. Dia punya cukup alasan untuk tidak memberikannya.

Tanpa sepengetahun West, Mayang sejak lima menit lalu berada di belakang kursinya. Memperhatikan pria itu menyapu bulatan-bulatan gelang. Mayang sangat tahu kenapa West menyimpannya.

Mayang menaikan ujung lengan hoodie, gelang yang sama tampak dari pergelangannya--inisial M. lambat-lambat Mayang mengingat momen-momen mereka di Toliara, menikmati malam di daerah tersebut, West yang harus dipaksa nyanyi setelah kalah taruhan, pertemuan mereka dengan Pak Elio ditaman, hingga bertemu Luc anak dari pak Elio.

“Eh, sudah berapa lama kau di sini,” kaget West sembari menyembunyikan gelang saat tiba-tiba menemukan Mayang di belakang. “Aku--aku--” gelagap West.

“Aku menunggumu di taman,” ujar Mayang.

“Aku tak ingin menganggu kalian.”

“Aku menunggu kopi.”

West mengerutkan dahi. “Kopi tadi?” Bukannya dia telah memberikan kopi pada Mayang dan Jaide?

Mayang menarik kursi dan ikut duduk, berhadapan dengan West. “Hakan meminum punyaku.”

West angguk-angguk, dia tahu Hakan sahabat Jaide. “Mau kupesankan lagi?” tawarnya.

“Boleh.”

West memanggil pelayan, dan satu memesan kopi lagi. Pria itu juga menambahkan menu sekerpare.

Sementara itu di luar--dari tempatnya Jaide masih memonitor paviliun yang dituju Mayang. Salju yang menutupi atap paviliun jadi pusat pandangan. Pria itu mengembus napas, asap keluar dari hidungnya. Dia memasukkan tangan ke saku jaket, sementara sebelah tangannya masih memegang kopi.

“Kopinya lumayan,” sebut Hakan.

Jaide tidak menggubris sohibnya.

“Mau tetap di sini atau gimana?”

Jaide hanya mematung. Setengah menit. Lalu membalikkan badan dan berlalu.

Hakan yang melihat itu, hanya menaikkan punggung dan menjungkit alis. Lalu cepat-cepat mengekori Jaide yang meninggalkannya.

***

Entahlah malam ini, Jaide belum terlelap. Padahal jam digital di meja menunjukkan pukul 2 pagi.

Udara di luar amat dingin. Salju jatuh lumayan banyak. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak, dan membukanya. Dua cincin yang langsung memancarkan cahaya di setiap sisinya. Cincin yang manis, namun Jaide tidak begitu bahagia.

Jaide kurang yakin apakah salah satu cincin ini akan tersemat manis di jari Mayang nantinya. Pria itu menghela napas, merebahkan punggung di sandaran kuris, lalu menutup kotak. Malam selalu membuat orang overthinking.

West meletakkan kotak cincin di samping selembar tumpukan kertas dan paspor. Kertas itu adalah print out tiket, tiket penerbangan ke Madagaskar. Benda-benda itu akan segera menemaninya ke Toamasina.

Pria itu lalu bangkit menuju ruang kecil yang berada di luar, menggelar sajadah dan qiyamul lail.

..... bersambung

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang