Piece of 11 [A]

46 4 0
                                    

"May... May...," panggil West dari luar.

Mayang yang masih fokus pada tulisan Lint_ng tersadar dari lamunan. Otaknya terlalu sibuk mengira-ngira. Lekas-lekas wanita itu meraih pintu lemari. Namun, mendadak Mayang mematung. Di bagian dalam pintu lemari tergantung benda lingkar berdiameter.

Benda ini seperti—

"May...," terdengar lagi suara West yang memanggil.

---

"Kok lama?" sergah West ketika Mayang kembali dengan dua sajadah dan satu mukena. Pria itu berada di space kosong yang sudah dibersihkan sebagai tempat sholat—posisinya vertikal dengan Paman Bien.

Mayang mengulum bibir.

"Kok bengong?"

Mayang pura-pura engah, "Ini sajadahnya," serahnya, lalu meletakkan mukena di samping meja kecil.

"Wudhu dulu gih," suruh West lantas menggelar sajadah.

---

Sami'allahu liman hamidah—lafal West, sembari bangkit dari rukuk. Di belakang Mayang mengikuti gerakan imam. Allahu akbar, sebut West lagi lalu sujud. Mayang pun mengikuti hingga mendaratkan wajah di sajadah.

Sementara itu Paman Bien menyimak gerakan mereka. Khusyuk dan khidmat. Lambat-lambat perasaan Paman Bien melankolis. Ingatannya langsung mundur ke masa lalu. Beliau pernah berada dalam situasi seperti ini bersama Lintang.

Hafalan Al Fatihah beliau belepotan, gerakan sholat tak sempurna. Sesekali lupa gerakan.

Tak terasa, satu bulir kristal merembes dari ujung kelopak mata. Sadar, Paman Bien menghapus basah, lalu menguasai diri.

---

Dua menit sebelumnya...

Taksi baru saja menepi tepat di pintu pagar.

Dengan selop tipis, Rinja turun dari taksi dan melihat sekilas rumahnya. Bertahan sekian hari tanpa uang di apartemen sungguh tak enak. Perutnya lapar, dia perlu belanja. Paman Bien memblokir semua kartu kredit miliknya.

Sigap Rinja membuka pagar, dan bersegera ke halaman. Langkahnya kemudian berhenti. Dari jendela sisi kiri rumah, dia dapat melihat dua bayangan. Gadis itu mengerutkan kening, siapa di dalam? tanyanya dalam hati, sebelum kemudian abai dan terus ke teras.

Rinja melebarkan pintu. Setelah melewati ruang tamu, orang pertama yang dijumpai adalah ayah. Gadis itu kaget sebab ayahnya terperangkap di kursi roda.

Allahu Akbar—suara West terdengar.

Rinja serta-merta menjeling dengan kelapa sedikit berputar. Suara apa itu. Gadis itu mempercepat jalan. Di dekat meja, dia menemukan dua orang tak asing. West dan Mayang. Keduanya sedang melakukan gerakan-gerakan ibadah. Muka Rinja otomatis tebal. Bola mata menyala. Kenapa bisa mereka bisa bersenang-senang di sini, sementara aku harus sekarat di apartemen?

Gadis itu langsung bergerak dekat rak yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga. Rinja sengaja menyikut salah satu keramik. Benda itu kemudian oleng dan jatuh dan, PRAAAANG! Bunyi keras tercipta. Keramik pecah dan berserakan di lantai.

Paman Bien menoleh. Rinja!

West dan Mayang yang masih sholat, terkesiap.

Ekpresi Paman Bien murka.

Seolah tak menghiraukan ekspresi ayahnya, Rinja maju. Tanpa tedeng aling-aling, gadis itu menumpahkan kesal. "Sekarang Rinja tahu alasan Ayah memblokir semua kartu kredit aku!" volumenya cuku keras.

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang