West berdiri dengan kaku. Penyamarannya sebagai East benar-benar berhasil. Ini untuk pertama kalinya dalam hidup dia berperan sebagai seorang kakak-posisi yang sejak dulu ingin dia rebut. West menatap Mayang sesaat. Menilai segala aspek yang ada pada wanita ini. Mata Mayang bening, bulu matanya lentik. Wajahnya bulat dengan bibir merona. Tubuhnya semampai begitu elegan dengan balutan hijab pink pudar. West jadi ingat relasinya dari Malaysia yang dulu sempat mengerjakan proyek bareng di perusahaan.
"Tak ada waktu untuk bengong, kita harus berteduh," Mayang mengajak lagi.
Pengamatan West seketika buyar. "Oh iya," jawabnya kaget.
Mayang berancang-ancang. Wanita itu memulai langkah pertama. West mengekori. Keduanya berlari mencari tempat berteduh. Mereka memutuskan berlindung di teras salah satu toko.
"Padahal kemarin cuacanya bagus," Mayang meremas-remas baju.
"Cuaca memang seperti itu, seenaknya berubah."
"Hahaha," Mayang tertawa. "Karena aku duluan yang datang ke danau, berarti aku pemenangnya," mendadak Mayang ingat taruhan mereka setahun lalu.
"Menang soal apa?"
"Jangan sok lupa," Mayang coba mengingatkan. "Kita kan sepakat, kalau yang telat datang di danau, dia wajib mentraktir yang datang duluan. Jadiii-" Mayang sedikit memanjangkan ucapan "kau harus mentraktir aku."
West garuk-garuk kepala. East tak pernah bilang soal taruhan ini. "Tapi aku kan gak tahu kalau kamu tibanya sore. Bisa saja kamu berbohong."
Mayang mengigit bibir. "Aku datang kemarin. Kau yang tak ada!"
"Tak usah ketus," West coba menenangkan. Dia mengintai wajah Mayang yang sedikit cemberut. "Oke, malam ini aku akan traktir kamu. Deal?"
"Of course, deal."
Hujan mulai reda. Hitam awan sudah memudar. Cahaya matahari perlahan terang. Mayang dan West masih berada di depan toko. Mereka menunggu hujan benar-benar berhenti sebelum melanjutkan langkah.
"Berarti kita harus menumpangi bus siang ini ke Toamasina," ujar Mayang kemudian.
Toamasina tak asing di telinga West. Sebelum ke sini, kakaknya sudah menjelaskan kota yang berada di pantai timur Madagaskar ini. East juga menjelaskan kehidupan Mayang di kota mungil tersebut walau hanya sekilas. Tapi tiba-tiba West merasa tak yakin bisa naik bus dengan jarak sejauh 355 km lebih ke Toamasina. Dia belum istirahat setelah mendarat kemarin sore di bandara. Dari hotel pria itu langsung ke Lake Anosy. "Kita bisa tunda perjalanan ke Toamasina? Aku agak capek."
"Tapi?" Mayang teringat Bu Miary. Dia hanya izin sehari.
"Aku ingin tidur. Ingin istirahat."
Benar juga, kalau East ke Toamasina dia bisa mati kelelahan. Manusia butuh rehat untuk memulihkan tenaga.
"Bagaimana?" aju West.
Mayang menimbang sebentar. Oh iya, dia bisa menelepon Ibu Miary, menambah izin sehari lagi. Semoga Bu Miary bisa mengizinkan. Lalu soal menginap? Aha, dia bisa minta bantuan Paman Bien. Tetangganya itu pasti akan sedia menolong. Tapi rasanya tak enak terus-terusan mengandalkan-
"Jangan kelamaan mikir," West meremas ujung baju. "Sekarang aku mau balik ke hotel. Beri tahu alamat inapmu, aku akan jemput nanti malam."
---
Malu-malu Mayang mengetuk pintu kamar. Wanita itu berharap Paman Bien belum ke mana-mana. Harusnya tadi dia mendengarkan nasihat Paman Bien untuk tinggal dulu. Tapi kalau tidak memilih pulang mungkin dia tidak akan bertemu East di danau Anosy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...