Piece of 23

11 3 0
                                    

Mayang seperti perahu tanpa layar di tengah laut. East dan West benar-benar membuatnya terombang-ambing. Dua kakak beradik ini sudah menyatakan semuanya, sementara di Istanbul hadir Jaide--calon suaminya.

Wanita itu sadar keputusannya menerima Jaide saat itu lantaran kecewa pada West. Ditipu begitu rapih, siapapun mungkin melakukan hal di luar kendali. Namun mengulang waktu rasanya tak mungkin.

***

Sudah pukul 07 pagi.

West menjangkau jendela dan membuka tirai. Udara dari luar masuk ke dalam kamar. Biasanya pagi-pagi sekali East yang membuka jendela sendiri, namun entahlah pagi ini pria itu hanya rebahan di ranjang.

Barangkali efek kemo yang kembali dia jalani. Tubuhnya menerima banyak obat dan mau tak mau kelelahan akan jadi salah satu efeknya.

“Kau tak ke kantor?”

West melepaskan tangan dari tirai dan menoleh. “Agendaku hanya ke Tüyap hari ini, ada beberapa pertemuan di pameran.”

East angguk-angguk. “Kau datang sendiri?”

“Ya,” ujar West lalu menuju meja kecil. Pria itu membuka kotak teh, lantas menyeduh. Karena buru-buru ke rumah sakit, dia tak sempat minum teh. “Mayang dan ibu datang jam 10 nanti, sebelum aku ke Tüyap.”

East lalu setengah duduk. Dia memperhatikan West yang sementara menyeruput.

Pandangan East sedikit membuat West tak nyaman. “Kau mau teh.”

East melebarkan bibir. “Aku sudah tak boleh menyentuh gula.”

Sebenarnya tawaran West itu juga refleks akibat tak nyaman akan tatapan kembarannya. Dia jelas paham kakaknya ini tak boleh makan manis. Tapi kenapa East begitu berbeda pagi ini?

Keduanya kemudian kompak hening, sekian menit.

“Kau menyukai Mayang?”

Mendadak pertanyaan East muncul di tengah hening, membuat udara tiba-tiba dingin, dan membuat rahang West kemudian mengeras. Pria itu sedikit gelagap, sebelum meletakkan cangkir. “Kau--”

“Semua orang akan jatuh cinta padanya,” East menyandarkan punggung ke kepala ranjang. “Dia terlalu baik, aku yakin semua orang yang bertemu dengannya akan menyukainya.”

Huft, West bingung mau jawab apa. “Aku tahu kau menyukainya, mana mungkin--”

East cepat menyela. “Aku mendengar percakapanmu dengan Mayang beberapa hari lalu di koridor luar.”

West langsung fokus pada kakaknya.

“Saat itu aku hendak menemui kalian. Aku mendengar kau mengatakan menyukai Mayang.”

“E... e... e...” West beneran gagu sekarang. Pria itu langsung ingat percakapan dia dan Mayang saat itu--mereka sedang membahas gelang pemberian Pak Elio.

Diam kembali menyelimuti keduanya. Yang terdengar hanya embusan angin dari luar. West pura-pura membersihkan meja yang tidak kotor demi mengurangi rasa kagoknya.

“Baguslah kalau begitu,” omongan East lalu terdengar.

West yang membelakangi East di meja, tak menoleh, namun siaga dengar omongan East selanjutnya.

“Jika aku benar-benar pergi--setidaknya ada kau yang mencintainya,” lanjut East. “Kau atau aku, rasanya sama saja kan?”

West menarik napas, apa yang harus dia tutupi lagi, East sudah tahu segalanya. Kini keduanya seperti orang asing dalam kurung waktu 1 menit. West sibuk di meja entah apa, sementara East memutuskan untuk rebahan lagi.

***

Dinding kaca di koridor depan kamar East selalu jadi lokasi menekuri apa saja. Begitupun West saat ini. Pria tersebut berdiri menghadap kaca. Memandangi aktivitas di halaman rumah sakit dan bulevar seolah jadi sesuatu yang wajib dilakukan saat isi kepala sedang kusut.

Percakapan panjangnya dengan East menghadirkan rasa tak enak. Sepanjang tahun, bersama-sama baru kali ini dia merasa percakapan mereka sangat sensitif.

West mengeluarkan gelang dari saku celana. Pria itu menyapu setiap bulatan, mengikis perlahan. Inisial ‘E’ memaksa matanya terpejam. Seperti yang pernah dia katakan pada Mayang, alasan sampai saat ini dia tidak pernah memberikan gelang pada East, barangkali karena ingin memiliki benda itu, selamanya.

Ya aku egois, aku ingin memiliki gelang ini sendirian.

***

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang