Putih menyelimuti halaman rumah sakit, pohon-pohon kecil di sekitar menjadi kapas. Angin bertiup rendah, menerbangkan butiran salju. Mayang sesekali mengelus lengan. Udara dua kali lebih dingin.Sementara itu East sedang bergumul dengan pikirannya. Jadi Jaide bukanlah kerabat Mayang. Cincin tadi sudah cukup menjelaskan siapa pria itu. Datang jauh-jauh menyusul Mayang dengan embel-embel ‘jalan-jalan’ hanyalah alasan. Ada pendorong yang lebih kuat dari itu, seperti dirinya yang mengutus West ke Toamasina.
East tersenyum, tak ada harapan yang harus diperjuangkan. Toh, kedatangan Mayang sudah cukup menjadi obat baginya.
“Kau tahu? Aku selalu menyukai salju,” cerita East kemudian. “Aku bisa menikmati jalanan yang sunyi, suhu yang rendah, dan butiran-butiran yang dingin.” East menegadakan tangan lebih maju dibawah tiris-titis atap. Salju mulai singgah di telapak tangan. “Kau harus mencobanya, sensasi dingin.”
Seketika memori di Menara Galata berseliweran. Untuk pertama kali Mayang merasakan salju memenuhi telapak tangannya. Pelan-pelan dia melakukan hal serupa. Membiarkan tangannya dingin.
“Kau suka?” East mendongak menjangkau wajah Mayang di belakang kursi roda.
Mayang menurunkan pandangan. “Ya, dingin.”
East mengembus napas, membuat asap keluar dari hidungnya.
“Bagi orang yang hidup di dua musim, salju adalah hal yang menakjubkan,” ujar Mayang. “Kami tak pernah menemukannya di Madagaskar.”
“Aku selalu mencintai negaramu,” timpal East. “Banyak hal kudapati di sana.”
Sementara itu dari kejauhan, di dalam mobil--di depan bulevar rumah sakit, Jaide tak melepaskan pandangannya ke serambi kiri rumah sakit. Sejak tadi pria itu belum pulang. Dia memperhatikan East dan Mayang.
Jaide mengulum bibir.
“Bagaimana? Apa kita pulang sekarang?” tanya Hakan yang berada di samping.
Jaide mengangguk.
Hakan memutar setir dan berlalu dari bulevar.
Salju perlahan mereda. Mayang dan East masih betah di serambi. East meminta Mayang membantunya duduk di kursi serambi. Mereka bersisian dengan menjauhkan pandangan ke taman. Sepuluh menit mereka membicarakan banyak hal, mengenang cerit di Toamasina.
Sungguh Mayang merasa kali ini, East cukup cerewet.
“Sekali lagi aku berterima kasih, kamu sudah datang menemuiku,” tutur East. “Meski dengan cara yang mungkin salah.”
“Tak ada yang salah East.”
“Aku hanya merasa seperti seorang penipu.”
“Aku memahamimu.”
Setengah menit mereka hening. Yang terdengar hanya semilir angin.
“Kau tahu, aku menyukaimu,” ujar East lagi.
Mayang menghela napas. Fokus pandangannya masih ke depan. Jelas wanita ini menyadarinya.
“Aku jatuh hati padamu sejak pertama kali bertemu. Kau ingat acara amal di pantai Mahavelona? Di situlah aku pertama kali melihatmu. Sibuk mengoordinir para tamu. Kau bahkan terlihat manis meski penuh keringat karena bolak-balik,” kenang East “Dan aku tak akan pernah melupakan itu.”
Aku juga.
“Bolehkah aku bersandar di bahumu?” pinta East kemudian.
Belum mendengarkan jawaban Mayang, pria itu langsung menyandarkan kepala di bahu Mayang.
Pundak Mayang hangat tiba-tiba. Wanita spontan melihat rambut East yang sudah jarang, beberapa bagian terlihat kosong sehingga kulit kepalanya begitu jelas. Setabah apakah East menjalani hari-harinya? Obat-obatan, kemo, kursi roda, bau rumah sakit? Mayang tak dapat membayangkan jika dia berada di posisi ini.
Barangkali East adalah manusia terpilih. Mampu melewati segalanya. Bukankah Tuhan tidak memberikan ujian melebihi kemampuan hambanya?
Mayang menyaksikan lagi beberapa salju yang mulai reda. Berputar-putar dan jatuh di lantai serambi.
Sudah lima menit East bersandar di bahunya. Tak ada obrolan. Sepertinya East tertidur. Bahunya cukup menjadi sandaran yang nyaman. Mayang lantas mencoba menggerakkan pundaknya, agar pria itu bangun. Ternyata East pulas. Mayang menggerakkan tubuhnya lebih keras lagi. Tak ada tanda-tanda East tersadar.
“East... East...,” Mayang menepuk pundak East, lalu mengangkat kepala pria itu dari sandaran pundaknya. Mayang menepuk pipi East. “East... bangun East...,” suara Mayang berubah panik. “East di sini dingin East, bangun.” Mayang cepat-cepat meraih tangan East, meraba nadi pria itu.
Tak ada denyut yang terasa.
Seketika tangisan Mayang, pecah. “East!!!!” teriak Mayang dan langsung memeluk tubuh pria itu. Kuat, sangat kuat. “East!!!” kali ini suara Mayang menarik perhatian orang-orang di serambi.
“East jangan pergi dulu...,” tangis Mayang, dengan derai lebih kencang. Air matanya banjir. “East....” Dekap Mayang erat-erat.
Dua orang suster yang berada di sekitar serambi berlari ke arah Mayang. Mereka menyadari situasi yang terjadi.
....bersambung
Note:
-Aku edit setelah nonton bola. Congrats buat Indonesia dapat tambahan 1 poin. Maarten Paes masih yang terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...