Siang ini pesan muncul di layar ponsel Mayang ketika mereka semua sedang berkumpul di rumah--hanya Om Emran yang tak di tempat karena harus menjaga East di rumah sakit.Ternyata Pesan dari Jaide.
“Pesan dari siapa?” tanya Tante Reyyen yang berada tepat di samping Mayang.
“Jaide,” jawab Mayang pendek.
West sempat mencerling ke arah Mayang. Pria itu lantas teringat pertemuan tak sengaja antara dia dan Jaide di pameran buku 2 hari lalu.
“Penting?”
“Sepertinya,” Mayang sedikit mengangguk. “Dia ingin bertemu.”
“Di mana? Kau tahu lokasinya?” tanya Tanye Reyyen. Sebelum Mayang menjawab, beliau melanjutkan lagi. “Atau diantar West aja.”
West sekali lagi menjeling ke arah Mayang, sehingga mereka saling tatap.
“Jangan lupa pakai jaket, akhir-akhir cuaca benar-benar dingin,” celoteh Tante Reyyen lalu mengambil sesuatu dari lemari di ruang tengah. “Ibu akan susul Ayah ke rumah sakit, nanti ”
Di kamar Mayang menatap lagi layar ponselnya. Urusan penting apakah, sehingga Jaide memintanya ke Menara Galata. Memang akhir-akhir ini Jaide sering berkunjung ke banyak tempat, barangkali dia butuh teman untuk meng-explore Istanbul.
Mayang bersolek seadanya, hanya kemeja lengan panjang, hijab biru, serta bedak tipis. Setelah rapi, Mayang memantau cuaca lewat jendela. Langit Istanbul lumayan mendung. Lalu perhatiannya teralihkan ke jaket yang tergantung dekat lemari. Jaket berwarna hitam dengan aksen bulu-bulu di kerah. Jaket hadiah dari Jaide saat mereka ke Istiklal Caddesi tempo hari.
Mayang meraih jaket tersebut. Lantas ke depan cermin. Dia menatap warna dan warna jaket, sepetinya serasi. Wanita itu lalu mengenakan jaket tersebut. Sekali lagi dia mematut diri depan cermin. Menyapu bahan jaket. Lembut di telapak tangannya.
Setelah memastikan semua, wanita itu turun ke lantai dasar.
West yang berada di ruang keluarga, langsung membeliak saat Mayang mendekat. Hari ini Mayang lumayan manis. Riasannya tipis namun sangat elok. Warna baju serasi dengan jaketnya. Dan ini pertama kali dia melihat Mayang mengenakan jaket itu. Selama ini dia mengenakan jaket pemberian ibu.
“Jaketmu bagus,” puji West ketika jarak mereka dekat.
“Thanks, ini--” Mayang menahan kata-katanya, dan tak melanjutkan, “Sekarang jam berapa?” Mayang mengubah topik obrolan
“Jam 5, emangnya kita akan ke mana?”
“Menara Galata,” terang Mayang. “Kau tahu tempatnya kan?”
Tentu saja West tahu tempat itu. Sebuah Menara yang tak pernah sepi pengunjung. Menara Galata menara kebanggaan Turki yang merupakan situs kuno dari abad pertengahan yang berlokasi di distrik Galata, Beyoglu.
---
“Cuaca makin ekstrim,” ceteluk West ketika mereka sudah setengah jalan. Menuju menara Galata mereka ke arah barat. Langit cukup meendung hari ini. West mengetuk-ngetuk setir dengan jarinya. “Pulang jam berapa?”
“Aku tidak tahu, mungkin tidak akan lama,” ujar Mayang.
“Mau aku tungguin?”
“Tidak perlu, diantar saja aku sudah sangat berterima kasih.”
“Atau mau kujemput?”
“Jangan repot-repot. Sepulang dari sana, aku langsung ke rumah sakit.”
“O,” ujar, kemudian angguk-angguk. Pria itu sadar dia sedang mengantar Mayang ke calon suaminya. Pria itu lantas menggigit bibir bagian bawah. “Apakah kau mencintainya?” tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...