Hari keberangkatan itu tiba.
Mobil lumayan sesak. West di belakang setir, di sampingnya terdapat Om Emran. Tante Reyyen dan Mayang menempati jok belakang. Keluarga Turki ini mengantar Mayang menuju Bandara ke daerah Arnavutköy.
Selama perjalanan, Tante Reyyen menjadi orang yang paling cerewet. Menanyakan keluarga Mayang, memberikan saran apa yang harus dilakukan selama perjalanan hingga mengingatkan barang-barang bagasi.
“Sesampainya di sana nanti kabarin ya,” Tante Reyyen mengingatkan.
Mayang melenggut
“Semoga ayahmu dan Umi Haifa menyukai kuenya,” cerocos Tante Reyyen lagi.
Di mobil hanya West yang sedikit kehilangan mood. Dia tak nimbrung dengan obrolan siapapun. Pria itu sesekali melirik Mayang lewat spion di atas dasbor. Mayang menyadari hal itu.
Mereka hampir tiba ketika salju mulai mereda. Sisa-sa es mencecer di jalanan, sebagian air jatuh dari tembok-tembok bandara. West mencari lokasi parkir. Setelah mesin mobil mati, pria itu sigap ke belakang menurunkan koper milik Mayang, dan sebuah tas jinjing yang penuh dengan kue oleh-oleh.
Satu per satu Om Emran, Tante Reyyen dan Mayang turun.
“Jaide tunggu di mana?” tanya Tante Reyyen.
“Katanya di pintu keberangkatan.”
Bandara cukup padat hari ini. Sebagai pusat penerbangan yang menghubungkan Asia dan Eropa, Bandara Istanbul rumah singgah bagi ratusan ribu orang per hari. Angka yang menakjubkan untuk rute penerbangan. Udara menjadi lebih sejuk di sekitar, meski matahari malu-malu di langit.
Mereka bertemu di depan pintu kedatangan sebelum pemeriksaan tiket. Jaide sudah siap dengan satu koper dan tas di belakang punggungnya. Pria itu mengenakan baju panjang dengan bawahan melewati lutut.
Jaide menyalami Om Emran dan Tante Reyyen. Lalu memberikan sedikit senyum Sewaktu menjabat tangan West. “Terima kasih sudah menjadi sahabat untuk Mayang,” ujar Jaide pada West.
West belum membalas pernyataan Jaide, ketika tiba-tiba Mayang melirik dirinya. Ya, mungkin benar sahabat adalah label terbaik yang dimilikinya. Tak ada hubungan lebih antara dia dan Mayang.
“Terima kasih sudah menjaga Mayang,” kata Jaide lagi.
“Sama-sama.”
Om Emran menyadari jam di pergelangan tanggan menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi penerbangan akan dimulai. “Sudah kalian cepat masuk, nanti ketinggalan pesawat.”
Mayang memeluk Tante Reyyen. Hangat.
“Hati-hati di jalan,” nasihat Tante Reyyen
Mayang melepas pelukan, “Iya.” Lalu beralih ke Om Emran, “Aku pamit.” kata Mayang ke Om Emran dan kemudian menatap West yang tak banyak bicara. Mayang tahu pria itu masih menyimpan kecewa.
Mayang dan Jaide hendak berlalu. Baru dua langkah masuk jalur pemeriksaan tiket, West langsung balik badan dan berlalu. Langkahnya gegas dan panjang, menuju parkiran.
Mayang bisa menyaksikan pria itu pergi. Memantaunya hingga hilang di antara kerumunan dan lalu-lalang mobil. Obrolan terakhir mereka di Selat Bosphorus menghantui kepala. Apakah aku benar-benar mencintai Jaide? Kenapa tiba-tiba rasa kehilangan menyergap Mayang.
“Yuk, nanti kita ketinggalan pesawat,” ajak Jaide ketika Mayang tersendat langkah.
Mayang buru-buru menyejajarkan langkah dengan Jaide.
---
“Kau kenapa?” tanya Tante Reyyen sewaktu mengetuk kaca mobil. Mata pria itu sembab.
“Aku--” West sulit menjawab. Ingin bilang kau dia tidak rela Mayang pergi? tidak mungkin. Ingin bilang kalau dia patah hati? dia tidak punya cukup nyali mengakui itu. “Aku hanya sedih, berpisah.”
“Sudahi sedihmu, kau seperti anak kecil saja,” ceramah Om Emran.
West menghapus air mata dan siap menghidupkan mesin mobil.
---bersambung
Note:
-Wah udah mau tamat aja nih
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...