Setelah mengantar Ibu dan Ayah, West langsung pergi lagi. Pria itu melesatkan mobil dari halaman. Kencang.Benar, sesuatu yang tak bisa dimiliki kadang membuat siapa saja jadi senewen. Namun West harus tetap waras, toh tak ada yang harus dia harapkan dari hubungannya dengan Mayang.
Setengah jam mengemudi, West turun dari mobil. Pria itu memasuki area pemakaman. Melewati deretan-deretan nisan, dan berhenti di makam East.
Pria itu duduk di samping makam. Memperhatikan nisan. Lama.
West mengeluarkan gelang inisial E, gelang yang secara egois dimilikinya. Pria itu menyapu setiap bulatan. “Mayang hari ini pulang ke Madagaskar. Dan aku tak kuasa untuk menahannya. Karena tak ada alasan yang cukup untuk aku menahannya di sini. Dia punya kehidupan di Toamasina, dan aku punya kehidupan di sini.”
Gerakan West seperti menyerahkan gelang. “Hari ini aku ingin membuat sebuah pengakuan. Kau lihat gelang ini kan? Gelang yang seharusnya untukmu. Gelang yang secara egois ingin aku miliki, karena aku mencintai Mayang. Bahkan saat kau sakit pun aku terlihat seperti ingin merebutnya darimu. Semoga kau tidak mencap aku sebagai orang jahat.”
Pria itu meletakkan gelang di atas makam. “Aku menyerahkan gelang ini untukmu walau pada akhirnya terlambat. Kuharap kau tak dendam padaku. Jika gelang ini terus bersamaku, aku takut aku tidak bisa ikhlas merelakan Mayang.”
Perlahan salju turun, melayang-layang dan jatuh di atas makam. Angin bertiup menerbangkan dandelion di sekitar makam.
Pria itu mulai berkaca-kaca lalu, lantas tertawa--merayakan kemalangan. “Kita berdua adalah orang yang kalah. Mayang sudah memiliki calon suami, dan kita harus menerima itu. Maafkan aku yang tidak bisa memenuhi permitaanmu. Maafkan aku, aku tak bisa menjaga Mayang. Aku tak bisa menjaganya, ada Jaide yang menjaga Mayang.”
“Kau sekarang bisa menjaga aku,” tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
West cepat menengok. Di belakang dia menemukan Mayang. Buru-buru pria itu menyeka air matanya.
“Kau tidak jadi berangkat?”
“Apa ada alasan lain untuk aku tetap di sini, selain kamu?”
“...”
“Aku harus jujur pada diriku sendiri. Aku tidak ingin kehilangan kamu. Membiarkan aku pergi sama saja, melukai perasaan kita.”
West masih setengah bingung dengan kehadiran Mayang yang tiba-tiba. “Jaide?”
“Dia merestui Kau dan Aku.”
Air mata West jatuh lagi, kali ini pria sambil mengukir tawa. Tawa bahagia. “Apa sekarang aku terlihat jelek?”
Mayang mengangguk. “Ya, saat menangis kau kelihatan jelek.”
West maju mendekati Mayang. Membiarkan salju melayang-layang di antara keduanya. Membiarkan angin bertiup rendah di antara baju-baju mereka.
---
Satu jam sebelumnya.
Jaide menderek ikut koper milik Mayang. Setelah check in, mereka menuju ruang tunggu. Mayang masih memantau keluar--di posisi Tante Reyyen, Ayah dan West. Jaide memperhatikan, meski mereka melangkah bersama namun Mayang tampak setengah berat dengan kepulangan ini.
Mereka melewati gerbang detector.
Mayang mirip orang linglung, bahkan ketika antrian sudah panjang di belakang, wanita itu masih berada di tengah baggage inspection. Jaide harus membuyarkan wanita itu agar sadar.
“Apa kau benar-benar ingin pulang bersamaku?” tanya Jaide ketika mereka sudah di ruang tunggu gate penerbangan.
Mayang tak menjawab.
“Aku merasa sebagian jiwamu masih tertinggal di sini.”
Hal itu membuat Mayang menoleh.
“Atau kau ingin bersama West?”
Mayang gagu, sejauh apapun dia menutupi, tampaknya Jaide dapat membaca semuanya.
“Aku bisa melihat semuanya. Kau mencintainya.”
Mayang berkaca-kaca. “Mmm--”
Jaide menyela, “Sssst! Jangan menangis. Aku tidak sedang menghukummu.” Pria itu kemudian tersenyum. “Pergilah....”
Bola mata Mayang bermain-main dengan setengah nganga. Bingung.
“Ayah, Umi Haifa, Ustad Salman biar itu jadi urusanku.”
Mayang menjatuhkan air mata. “Engkau pria yang baik. Maafkan aku.”
“Sekarang pergilah, temui West. Aku ikhlas.”
Mendengar itu, Mayang bangkit. Buru dia keluar dari ruang tunggu, berlari sekencangnya. Dia harus menemui West, mengungkapkan kejujuran.
Jaide memperhatikan Mayang yang gegas, sejurus kemudian petugas memanggil semua penumpang agar masuk ke lorong gate, sejurus pula air mata Jaide jatuh. “Aku tak ingin pernikahan kita tidak berlandaskan cinta. Aku tak ingin kita akan saling berbohong, dan menyakiti satu sama lain. Allah membenci itu.”
Jaide menyerahkan tiket, menghapus ari mata dan masuk ke lorong gate.
***
Salju masih jatuh dari langit Istanbul.
Mobil yang dibawa West masih melaju, membelah jembatan Bosphorus. Pria itu nampak bahagia, karena tiba-tiba Mayang datang menemuinya. Saat ini tak ada yang bisa menggambarkan betapa senangnya dia saat ini.
“Apa tadi aku kelihatan cengeng?” tanya West.
“Sedikit,” Mayang membuka gigi.
“Tapi kenapa kau tahu aku di ke makam East?”
“Tadi aku mampir ke rumah, Tante Reyyen dan Om Emran yang memberi tahu.”
West angguk-angguk. Pria itu menambah kecepatan, tak sabar sampai ke rumah demi membagi kebahagiaan ini.
Begitulah takdir, sekeras apapun kita bersikap. Jodoh akan menemukan jalannya.
---TAMAT--
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...