Piece of 12 [A]

37 4 0
                                    

"Mayang?" refleks West ketika wanita itu muncul tiba-tiba di pintu toko.

West yang sedianya memindahkan tangkai-tangkai anyelir, mengembalikan kembang tersebut ke petakan. Baru tiga hari Mayang menghilang, namun bertemu dia pagi ini serasa mengobati rindu sebulan tak bertemu.

Namun pandangan West teralih ke belakang Mayang—tepatnya di depan toko. Di sana terdapat seorang pria, berdiri di samping mobil

Pria itu melambaikan tangan. West membalas dengan sekali angguk. Pria itu lalu masuk mobil dan melesatkan kendaaran pergi. West lantas mendekatkan jarak dengan Mayang, "Jaide mengantarmu?"

"Dia menjemputku," jawab Mayang.

"Kalian pergi bersama-sama beberapa hari ini?" tanya West lanjut tak puas jawaban Mayang.

"Aku hanya memintanya menjemputku tadi."

West mengeluarkan napas, dia mengambil lagi tangkai-tangkai anyelir. Sebetulnya dia ingin menanyakan tiga hari ini Mayang ke mana, apa yang dia lakukan, bagaimana keadaannya. Namun agaknya sikap Mayang cenderung defensif. Apalagi malam itu Mayang mengusirnya, pasti masih ada sisa marah dalam hati. "Bu Miary pasti senang melihatmu masuk kerja," ujar West hendak ke belakang.

"Aku sudah memberi tahu Bu Miary, masuk hari ini."

West yang sudah berjalan, kemudian berhenti. Ingin menoleh tapi ragu. Kenapa Mayang hanya memberi kabar pada Bu Miary?

Sepanjang shift pagi, West dan Mayang seperti dua orang asing. Tak ada yang memulai obrolan. West yang biasa akan membantu Mayang, enggan ke petakan wanita itu. Sementara Mayang melakukan apa saja sehingga terlihat sibuk, agar West tak punya kesempatan mendekati.

Sebetulnya diam-diam keduanya sama-sama tak nyaman.

Meski begitu, West bahagia bisa melihat Mayang hari ini.

Ketika shift pagi berakhir, barulah West berani mengajak Mayang mengobrol, tentu dengan mencari alasan yang jelas. "May, aku ingin makan siang, kau mau bareng?" tanya West sewaktu mereka di ruang belakang. "Aku yang traktir, ada restoran Turki dekat sini."

"Aku ada janji dengan Jaide. Dia akan menjemputku."

Lagi? "Oh," ujar West seperti patah hati.

"Tak enak membatalkan janji," lanjut Mayang.

"Kalau begitu aku duluan," ucap West, lalu meninggalkan ruang belakang.

Mayang tidak mengalihkan pandang dari West ketika pria itu keluar. Ada rasa tak enak ketika menolak. Mereka selalu pulang bareng, namun kali ini tak bersama. Jaide akan mengganti posisi West.

Begitu hendak menuju wastafel—membersihkan wajah, Mayang terhenti di dekat kursi yang tak jauh dari posisinya. Ada jaket jeans di sandaran kursi. Sepertinya milik West. Wanita itu buru ke depan, berusaha mengejar West. Pria itu sudah tak ada. Mayang memantau jalan lewat dinding kaca, tampaknya pria itu sudah naik kendaraan umum.

---

Langit mendung. Hujan turun cepat sekali, padahal lima menit lalu, sinar matahari masih menembus kaca-kaca toko.

Mayang berdiri di beranda toko. Tangannya bersedekap dengan mengimpit jaket. Harusnya Jaide sudah tiba sejak setengah jam lalu. Pesan singkatnya pun tak dibalas. Barangkali pria itu telat karena hujan.

Derik pintu kaca terdengar. Mayang menoleh, rupanya Bu Miary keluar.

"Nunggu siapa? East?" tanya Bu Miary

"Enggak," jawab Mayang, senyumnya dipaksakan.

Bu Miary menangkap senyum paksa itu itu. "Kenapa tidak barengan?"

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang