Toamasina, Madagaskar
Umi Haifa pagi-pagi sudah kedatangan tamu. Padahal pria itu tak ada jadwal mengajar hari ini di panti.
Umi Haifa menghidangkan teh, dan menyilakan pria itu. “Ada keperluan pentingkah?” tanya Umi Haifa.
Jaide menghela napas sebentar. Agak sungkan untuk langsung ke inti obrolan. “Sebenarnya kedatangan Ananda untuk membicarakan soal pernikahan Ananda dengan Mayang.”
“....”
“Tanggal pernikahan maksudnya,” sambung Jaide.
Umi Haifa yang memeluk nampam, langsung meletekkan benda itu di meja. “Apa kita tidak menunggu Mayang pulang dulu?”
“Maksudnya ini pembicaraan awal dengan Umi. Sekaligus meminta pandangan.”
Umi hanya menatap Jaide. “Umi sih terserah kalian. Tapi saat ini Mayang sedang di luar negeri. Lagi pula--” jeda Umi Haifa.
Jaide seperti menunggu lanjutan omongan Umi Haifa.
“Lagi pula ada seseorang yang harus terlibat adalah penentuan pernikahan kalian,” ujar Umi Haifa. “Pak Bien.”
Jaide kaget. Umi lantas menjelaskan apa yang beliau tahu dari Mayang, sebelum wanita itu berangkat ke Turki. Terus terang Jaide tak menyangka, orang yang selama ini jadi donatur terbesar panti adalah ayah kandung Mayang.
“Beliaulah yang membiayai keberangkatan Mayang ke Turki.”
Jaide masih mencerna kenyataan ini. “Berarti ....”
“Berarti Pak Bien juga harus dilibatkan.”
Jujur Jaide tidak terlalu dekat dengan Paman Bien. Beberapa kali mereka bertemu di panti, hanya sekadar saling sapa--tak ada obrolan lebih.
“Kamu tak perlu khawatir, Umi akan membantu.”
Jaide mengembus napas.
“Umi akan mengatur waktu bila perlu,” lanjut Umi lagi. “Atau... kamu yang ingin langsung bertemu Paman Bien?”
Jaide terlihat berpikir.
***
Di lorong rumah sakit--tak jauh dari kamar inap, West, Ibu dan Dokter terlibat percakapan serius. Mayang yang baru saja keluar dari ruang inap tampaknya hendak ke lantai bawah. Namun tampaknya dia tak berani melewati tiga orang yang sedang serius ini.
“Jika tak dilakukan, bisa jadi akan ada penurunan kondisi,” jelas Dokter. “Kita tidak bisa bergantung pada kemoterapi saja.”
“Kamu sudah berupaya membujuknya. Tapi East kekeuh. Tidak ingin cuci darah lagi,” sebut Ibu.
“Meski akhir-akhir ini kita melihat kemajuan pada East, tapi kita tidak bisa menghentikan program yang sudah diatur.”
“Apa ini akan berdampak?” tanya West.
“Semua hal yang berkaitan dengan pengobatan akan berdampak. Bisa saja sisa waktu hidupnya menjadi lebih singkat lagi.”
Mayang yang mendengar hal itu kaget. Bisa lebih singkat? Seketika perjalanan ke Hagia Sophia kemarin terlintas di ingatan. Dia merasa bersalah saat East memintanya membeli kopi.
“Satu hal lagi, jangan terlalu sering mengajak East keluar,” saran Dokter dan kemudian pamit berlalu dari lorong.
West dan Ibu yang kompak menoleh, tak sengaja mendapati Mayang beberapa meter di lorong. Wanita itu tampak sedikit menunduk--kemungkinan merasa bersalah lantaran menemani East ke Hagia Sophia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...