Sepuluh menit setelah meninggalkan Tüyap, tak ada obrolan di dalam mobil. West fokus dengan setir. Sesekali pria itu menoleh ke spion, mengamati kendaraan. Sesekali melajukan kecepatan mobil. Sedang Mayang memainkan jari-jari seolah tengah berzikir.
Tak bisa dipungkiri ada kecanggungan antara keduanya. Ingin memulai obrolan namun masing-masing saling menunggu.
Mayang mengetuk-ngetuk dasbor. "Di saat-saat genting, kita menjadi orang yang tidak berada di sampingnya," Mayang akhirnya angkat bicara.
West memutar setir. "Penyakitnya sudah seganas itu. Kita tidak bisa menjamin dia akan fit selamanya," West coba menenangkan. "Tenanglah, semoga segalanya baik-baik saja."
"Aku takut."
"Kita memang mesti bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang terjadi."
"Apa kita menjadi orang paling berdosa datang terakhir ke rumah sakit?"
West menoleh. Dia hanya menatap wanita di sampingnya itu. West menemukan gusar yang melingkupi seluruh bahasa tubuh Mayang.
---
Jaide dan Hakan beranjak dari pameran tak lama setelah Mayang meninggalkan gedung Tüyap
Dalam perjalanan, Jaide teringat kejadian di dalam pameran tadi. Kejadian saat West berlari dari belakang panggung sepersekian menit setelah Mayang meninggalkan mereka.
Hakan kemudian melirik paper bag yang berada di antara dirinya dan West. "Apa ini?" Dia sedikit mengintip ke dalam paper bag.
"Jaket Mayang."
"Kau baru membelinya?" Pria itu bisa menebak dari wangi paper bag.
Jaide mengangguk.
"Aku penasaran, sebenarnya Mayang itu siapa kamu?"
"Dia calon istriku."
Seketika kening Hakan menjungkit. "Masya Allah kawan, kenapa aku tidak bisa membacanya?" Gurat-gurat bahagia di wajah Hakan kentara. "Kau dan Mayang...." Hakan masih tak percaya dia tidak mampu membaca keadaan. "Bulan depan kan pernikahan kalian?"
"Jika tidak ada halangan."
"Aku pasti menyusul ke Madagaskar."
"Semoga lancar sampai hari pernikahanmu."
"Terima kasih," ujar Jaide dengan ucapan yang tak begitu yakin. "Kalau gitu aku turun di sini. Kau pulang duluan. Aku mau ke rumah sakit."
---
Langkah Mayang dan West panjang-panjang ketika memijak di halaman rumah sakit. Keduanya kompak setengah berlari di lorong rumah sakit, menjejal lift hingga ke lantai empat.
Ini adalah kali pertama kesehatan East menurun sejak kedatangan Mayang.
Tante Reyyen dan Om Emran langsung bangkit ketika mendengar bunyi lari ke arah mereka. West dan Mayang mendekat.
Air mata Tante Reyyen langsung lepas begitu Mayang dan West hanya sekian jaraknya.
"Bagaimana keadaan East, Bu," tanya West.
Ayah yang berada di samping menjelaskan. "East masih ditangani tim dokter. Mereka memasang slang infus." Ayah mengelus pundak ibu, istrinya tersebut sulit berkaca-kaca.
"Kita harus menunggu lama berapa lama?"
Ayah menggeleng. "Suster hanya menyuruh menunggu. Semoga ini tak akan lama."
"Ibu takut..." Ibu akhirnya bicara.
Dalam setengah jam ini West mendengar kata takut dari dua orang berbeda, Ibu dan Mayang. "Semua akan baik-baik saja."
Dan sore itu menjadi sore paling gusar bagi keluarga East dan Mayang. Kalut seakan memenuhi lorong depan kamar East. Tante Reyyen tak berhenti meneteskan air mata dan bersandar di pundak Om Emran.
Mayang merapal doa di kursi.
West menyandarkan kepala ke tembok sembari menatap langit-langit. Posisinya berdiri di samping Ibu dan Ayah.
Akhir-akhir ini mereka lumayan senang dengan perkembangan East, namun kenyataan hari ini seperti meruntuhkan segalanya. East di dalam sedang bergelut dengan ketidakberdayaan. Harusnya memang mereka semua bisa memprediksi hal ini, tetapi tetap saja menyangkut penyakit dan nyawa selalu menjadi hal yang menakutkan.
Ayah mendongak menjangkau dagu West yang berdiri di sampig. "Sebaiknya kau kembali ke rumah.
East menjauhkan kepala dari dinding. Sementara Mayang yang mendengar permintaan tersebut, serta-merta menatap sisi kanan wajah West. Menyaksikan rahang pria itu yang kemudian mengeras.
"East sangat bergantung pada kita. Jika di rumah koordinasi kita bisa lebih mudah."
West membasahi bibir bawah.
"Ayah, dan belum siap kehilangan East."
West menundukkan kepala. Keputusannya tinggal di apartemen jujur seperti anak kecil. Ketika kesehariannya selalu bersisian dengan Mayang berarti dia juga harus siap menghadapi Jaide.
---
Pukul 6 sore, Jaide tiba di rumah sakit.
Pria itu turut bersedih. Om Emran dan Tante Reyyen menyambutnya dengan baik. Jaide memilih lebih banyak berinteraksi dengan Mayang.
"Apa kata dokter," tanya Jaide. Bersama Mayang mereka mengobrol dekat pohon palem yang berada dekat dinding kaca.
"Belum ada. Kami semua masih menunggu."
"Ini," Jaide menyerahkan paper bag yang sejak tadi dia pegang. "Kau lupa tadi saking buru-buru."
West yang berada 3 meter dari mereka melihat Mayang menerima paper bag.
"Apa kau ingin menunggu di sini?"
Jaide membuang pandang ke kursi melihat 3 orang di sana, Om Emran, Tante Reyyen dan West. "Rasanya Kau dan keluarga East sudah cukup. Aku balik saja."
Mayang mengangguk kecil.
Jaide kemudian pamit kepada Tante Reyyen, Om Emran dan West. Saat bersalaman West menunjukkan canggung.
Mayang mengantar Jaide sampai ke bawah hingga ke bulevar rumah sakit. Mayang bahkan memilih bertahan sampai Jaide masuk ke dalam taksi. Sementara itu dari lantai 4, West mengamati dua orang tersebut dari dinding kaca koridor
West menutup mata dan menarik napas, lalu beringsut dari dinding kaca.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualitéImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...