Sejak obrolan di rumah sakit, Mayang dan West menjadi kagok. Satu sama lain seperti membuat jarak. Tak ada obrolan yang intens seperti sedia kala.
West memegang gelas teh dan meneduhkan pandangannya ke luar jendela. Pria itu sudah setengah jam di kamar. Tak ada niat turun ke bawah. Pria itu tak pernah menyangka bisa mengungkapkan perasaannya kemarin. Tak lugas namun jujur. Selama ini dia hanya bisa memendam apalagi hopeless saat Mayang tak mengingkannya di akhir pertemuan mereka di Toamasina.
Tapi setidaknya West lega, pada akhirnya perasannya tersampaikan.
Sementara itu Mayang pagi ini sibuk di dapur. Dia membantu Tante Reyyen menyiapkan kavurma--daging tumis yang dimasak dengan beberapa bumbu dasar. Biasanya dimasak hingga lemaknya hilang.
Dengan telaten Mayang mencincang bawang bombai. Hidup mandiri, membuatnya pandai memegang alat-alat dapur. Paprika pun tak luput dari tangannya, hanya butuh setengah menit, sudah terpotong dengan rapi.
“Kau suka daging juga?” tanya Tante Reyyen. Beliau sedang memarinasi daging yang sudah dicincang.
“Ya, suka,” Mayang mengangguk. “Tapi di Madagaskar lebih banyak seafood,” jelasnya. “Daerah kami memiliki laut yang luas.”
“Berarti kau pandai masak seafood.”
“Tidak terlalu.”
“Kalau gitu kapan-kapan, kita bikin menu seafood khas Madagaskar.”
Tak berapa lama, West melintas ke ruang tengah. Dari sudut dapur Tante Reyyen bisa melihat bayangan pria itu. Dengan setengah lantang, Tante Reyyen memanggil. West yang sudah rapi pagi ini, menghentikan langkah.
“Mau kemana?” tanya Tante Reyyen.
“Ke rumah sakit,” jawab West seadanya. Dia sempat melirik Mayang yang sedang asik memotong sayuran.
“Kau tidak mengantar Mayang?”
West menaikkan alis.
“Katanya jam 10 nanti, ada koleganya yang datang dari Madagaskar,” bocor Tante Reyyen. “Makanya pagi ini Mayang bantuin Ibu masak kavurma, sapa tahu dia nanti bakal mampir ke sini.”
Jelas West tahu siapa yang dimaksud ibunya, Jaide! West membuang pandang ke samping meja di ruang tengah sebelum mengatakan, “Ayah nanti menunggu lama di rumah sakit.”
“Ibu sudah bilang ke Ayah tahan sampai siang nanti.”
“Aku bisa pakai taksi Tante,” sela Mayang tak ingin merepotkan. Wanita itu juga paham, pasti West tak enak berada di sampingnya setelah obrolan kemarin. Dia pun juga begitu pasti akan super canggung. “Sekalian biar aku hapal jalan.”
“Tidak apa-apa,” tepis Tante Reyyen.
Sepertinya Mayang tidak bisa menolak tawaran Tante Reyyen, sementara West juga tak punya alasan serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...