Piece of 4

138 11 5
                                    

Tugas mengajar di kampus telah selesai. Jaide bersiap-siap balik. Setengah jam lagi waktu zuhur tiba. Pria itu beniat singgah di masjid kecil pusat kota. Lokasinya tak begitu jauh dari tempatnya mengajar.

Jaide tiba di masjid sembilan menit kemudian. Letak masjid ini berada di jalan besar yang berhadapan beberapa toko dan restoran. Pria itu hendak menepikan mobil dekat trotoar. Jaide membuka pintu mobil dan turun.

Mendekati gerbang Masjid, langkah Jaide tertahan. Beberapa meter sejajar darinya, Jaide melihat seorang pria yang sepertinya familier. Pria itu mengenakan celana panjang berwarna cokelat susu dan polo t-shirt berwarna hitam. Dialah West. West tampaknya baru saja keluar dari restoran Swipe. Jaide agak kaget. Setahunya restoran Swipe memiliki harga menu selangit dan biasanya yang datang rata-rata orang berkantong tebal.

Jaide menggosok dagu dengan ujung jari. Setahunya West adalah pria sederhana? Jika salah satu tujuan West liburan, idealnya harus menghemat.

Dari dalam masjid terdengar azan. Perhatian Jaide teralih. Ketika kembali fokus ke depan restoran Swipe, sosok West langsung lenyap. Pria itu pergi begitu cepat.

Alhasil Jaide memutuskan masuk masjid.

---

Muslim di Toamasina bukan mayoritas. Untuk mendapatkan jamaah lima belas orang di masjid ini sudah luar biasa. Seringnya tak lebih dari tujuh jamaah ketika Jaide singgah sholat.

Lagi-lagi zuhur ini Jaide didaulat sebagai imam.

Jaide selalu siap melaksanakannya. Kemampuan fasih melantunkan ayat Al-Qur'an dan ditunjang dengan penampilan bak pria-pria Mesir membuatnya selalu ditunjuk.

Butuh hampir tujuh menit Jaide memimpin sholat zuhur. Pria itu menoleh ke kiri dan mengucapkan salam terakhir. Tak sengaja Jaide melihat West berada di ujung saf. Pria itu berdiri menambah rakaat sholat. Sepertinya West masbuk. Dia tertinggal beberapa rakaat. Jaide membenarkan posisi duduk, zikir dan berdoa.

Begitu doa selesai, Jaide menoleh ke kiri.

Astaga sosok West sudah tak ada di tempatnya.

***

Perjalanan ke Toliara dimulai empat hari berikutnya.

Bawaan West semuanya rapi di tas carrier sedang. Di dalamnya terdapat beberapa baju, snack, air mineral dan kebutuhan pribadi.

Mayang hanya membawa ransel biasa. Wanita itu sedikit heran ketika menunggu West di parkiran apartemen. "Kau membawa banyak barang?"

"Kupikir ke Toliara tak cukup sehari."

Oh kenapa tak kepikiran, Mayang menepuk jidat. Dia hanya membawa dua pakaian ganti dan perlengkapan sholat. Selebihnya hanya kotak make up kecil. "Beberapa hari ya," Mayang memastikan dengan nada ragu.

"Saat menemui Madam Claude kita bahkan harus menginap, apalagi ini ke Toliara."

Benar juga. "Apa aku harus balik dan berkemas ulang?"

"Tidak perlu, udah kepalang tanggung. Sebentar lagi mobil travel tiba."

"Kau menyewa travel?" Mayang kaget. Setahunya mereka akan menggunakan bus.

"Demi menghemat waktu," ujar West lalu mengeratkan tali carrier di depan dada. "Aku tadi mengecek jarak Toamasina - Toliara. Nyaris 23 jam jauhnya. Kalau menggunakan travel kita bisa meminta istirahat jika capek."

"Boros," Mayang geleng-geleng. "Kau tak sayang uangmu?"

"Demi kau, demi ayahmu."

Mendadak Mayang terdiam. Kata-kata West seakan menenteramkan. Sungguh apa yang dikatakan pria ini? Mayang menghela napas. Detik-detik berikutnya Mayang melihat West dengan pandangan blur, lama dan tak ingin lepas.

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang