Piece Of 23 [Part 2]

6 1 0
                                    

Tepat pukul 11 siang. West meninggalkan rumah sakit setelah ibu dan Mayang datang. Dia masih harus ke Tüyap, ada beberapa pekerjaan yang mesti dia hadiri. Salah satunya jadi pembicara di mini talkshow tentang perusahaan

West mengisi talkshow mewakili perusahaan, sekaligus sebagai sponsorship. Mini talkshow berlangsung satu jam. Banyak pengunjung yang mengikuti talkshow, beberapa bahkan ada yang berasal dari negara-negara tetangga seperti Yunani, Bulgaria, dan Georgia.

Sepuluh menit usai bincang-bincang berakhir, West memutuskan menghirup udara segar di luar gedung. Pria itu melepas dahaga dengan membaca gelas kopi. Sebuah tower yang tak jauh dari gedung Tüyap, jadi fokus pandang West. Pria itu seperti meneliti sekaligus menerka-nerka tinggi tower yang menjulang tersebut. Pria itu menyeruput, cukup melegakan, kopi jadi penghangat yang baik untuk cuaca Turki akhir-akhir ini.

 Pria itu menyeruput, cukup melegakan, kopi jadi penghangat yang baik untuk cuaca Turki akhir-akhir ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah dari mana, tahu-tahu ada pria berkulit cokelat yang menyejajarkan posisi dengan West. Langsung saja pria itu menoleh. Jaide! West melebarkan mata sesaat. Pria ini di sampingnya ini mengenekan jaket tebal yang menutupi gamisnya. West juga bisa menemukan gelas kopi di tangan Jaide.

“Assalamualakum,” salam Jaide.

Sebelum menjawab, West menoleh ke belakang, memastikan apakah ada Mayang. Pria itu mengembalikan posisi kepala, “Walaikum salam,” balasnya, lalu meyakinkan diri Mayang tak mungkin datang. Bukankah sekarang dia sedang di rumah sakit bersama Ibu?

“Kopi memang cocok saat cuaca dingin seperti ini,” celetuk Jaide.

“Sebentar lagi Turki memasuki musim salju. Peralihan musim selalu membawa cerita berbeda. Seperti kita yang harus terus menyediakan jaket, menikmati makanan atau minuman yang selalu hangat atau membawa cadangan kaos kaki dan syal yang tebal. Karena kita tidak bisa memprediksi kapan salju pertama turun.”

Jaide mengulum bibir. “Aku belum pernah merasakan salju.” Pria itu menyeruput kopi. “Allah begitu hebat bisa menciptakan segala sesuatu yang menakjubkan.”

West merapikan jas. “Kau sendirian?”

Jaide mengangguk. “Kupikir menarik untuk kembali ke sini. Madagaskar tak pernah menyediakan pameran sebesar ini. Sebagai akademisi, berada di tengah surga buku adalah hal yang menyenangkan.”

West sejujurnya tak tahu apa yang mesti dia bicarakan dengan Jaide selanjutnya. Dulu di Madagaskar keduanya tak secanggung ini, namun di sini, jarak itu sangat kentara.

“Sejauh mana kini kau dan Mayang,” mendadak entah angin dari mana, sampai-sampai West melontarkan pertanyaan demikian.

Jaide spontan menatap West.

“Ya, jika kau sudah melamarnya, pasti ada tahap yang lebih serius.”

Jaide tersenyum tipis. “Kita menyukai orang yang sama,” jeda Jaide lantas melihat tower yang tinggi di depannya. “Mungkin rasamu ke Mayang lebih besar dariku, atau sebaliknya. Tapi kurasa, kita mengerti posisi masing-masing.”

West kemudian tak bicara sekian menit lagi. Pria itu menghela napas. Membiarkan angin dan riuh pengunjung pameran bertukar cakap.

West menghabiskan kopi, lalu beranjak.

“Semua takdir sudah ditetapkan Allah. Jika Mayang tak ditakdirkan untukku, atau tidak ditakdirkan untukmu. Kita akan masih sama-sama mencintainya.” ujar Jaide yang membuat langkah West berhenti. “Kita tak bisa melawan apa yang sudah digariskan.”

***

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang