Piece of 22 (Part 2)

7 3 0
                                    

Waktu menunujukkan pukul delapan malam.

Keluarga East dan Mayang masih menunggu. Tante Reyyen merapal doa tak henti-henti. Di pundak Om Emran beliau menumpahkan sedih. West yang kelelahan tertidur dengan posisi kepala tengadah ke langit-langit. Sementara itu Mayang yang duduk paling dekat dengan pintu ruang inap, berharap benda persegi itu segera terbuka.

Entah kenapa semua menjadi segenting ini. Mendadak Mayang merasa bersalah dua hari ini tak datang ke rumah sakit. Harusnya dia bisa lebih santai menghadapi West, sehingga rutinitas ke rumah sakit tetap kontinu agar East terus dalam penjagaan. Seperti embusan angin, kenangan bersama East tahun lalu berkelebat di kepala. Pertemuan awal mereka di pantai Mahavelona benar-benar kuat di ingatan. Pria itu tampak charming di antara puluhan orang yang mengikuti kegiatan amal di tepi pantai. Kemudian ingatan saat Mayang menjadi tour guide tak resmi demi menunjukkan sisi baik Toamasina pada East bergulir indah di kepala. Mayang ingat semua momen itu.

"Kau tahu, ini pertama kalinya aku betah berlama-lama di sebuah kota," ujar East saat mereka berkeliling di Antananarivo dan berhenti di Lake Anosy. "Kau tahu alasannya?"

"Mungkin karena Toamasina eksotis, indah, punya banyak pantai yang bisa kau kunjungi setiap saat."

"Lebih dari itu."

Mayang menaikkan alis dan menatap East.

"Karena dirimu."

Mayang terdiam sesaat. Cukup tersipu dengan pengakuan East. "Tapi besok kau akan kembali ke Turki."

"Aku berjanji tahun depan aku kembali. Kita akan sama-sama mencari ayahmu."

Mayang menatap pria Turk, tersenyum berharap, kemudian tertawa.

"Kenapa kau tertawa?"

"Kau sedang ingin menghiburku?" Bagi Mayang itu sangat mustahil.

"Aku tak pernah janji seserius ini kepada seseorang." East berjalan ke depan meninggalkan Mayang yang terkejut tetapi penuh harap.

Jujur Mayang tak yakin harus percaya atau tidak. Bertemu seorang traveler tiba-tiba dan terlibat kedekatan yang tiba-tiba pula, membuat siapapun ragu-ragu untuk melakukan sebuah perjanjian.

"Bagaimana?" aju East. "Kita akan bertemu di sini. Tahun depan, deal?"

Mayang belum mau mengiayakan.

"Kau masih tidak percaya padaku?" East mendekati Mayang di belakang.

Mayang lekat-lekat mengamati East. Pria ini kelihatan sangat sungguh-sungguh. "Kalau begitu yang datang terlambat di sini, berarti dia harus traktir orang yang datang duluan," Mayang mencoba untuk percaya.
"Oke, deal! Tahun depan kita akan bertemu di sini."

Sekonyong-konyong derit pintu terdengar. Ingatan Mayang buyar. Dokter keluar dari ruang inap.

Spontan Tante Reyyen, Om Emran dan Mayang berdiri.

"Bagaimana keadaan East, Dok?" todong Tante Reyyen langsung.

Dokter melepas kacamata. "Masa kritisnya sudah lewat, dia mengalami penurunan respon motorik. Keputusaan menghentikan kemoterapi salah satu penyebababnya. Pasien masih tetap tetap sangat butuh itu."

Mayang langsung teringat dengan keputusan East tersebut.

"Meski dia komsumsi obat daya tahan dan vitamin, tapi itu tak cukup kuat untuk tubuhnya dia butuh obat dosis kemo agar sel kanker tidak makin menyebar. Kami juga menemukan kopi di mejanya."

Pasti itu kopi peaberry. Kopi kesukaan East. Terakhir East mengonsumsi kopi tersebut saat mereka ke Hagia Sophia.

"Gula tak baik untuknya. Untung daya tahan tubuhnya bagus," ujar dokter. "Kami memtuuskan memberikan slang infus memasukkan obat-obatan kemo padanya."

Engahan West terdengar, pria itu terbangun dan mendapati orang tuanya beserta Mayang sedang terlibat obrolan dengan dokter.

"4 jam lagi kami akan memeriksa kondisi pasien, saat ini dia sedang tidur."

West bangkit dan buru-buru mendekat. "Bagaimana East?"

"Sudah melewati masa kritis," ujar dokter menangkan.

Mendengar itu, West langsung menerebos pintu masuk. Pria itu langsung mendekati ranjang dan kaget ada slang infus serta alat pendeteksi jantung yang terpasang di tubuh East.

Dua orang suster yang sedang membereskan entah apa dekat ranjang lalu seperti menghindar.

Pria itu kemudian tertunduk dan berkaca-kaca.

Selang sekian detik Tante Reyyen, Om Emran, dan Mayang masuk ke dalam ruangan. Tante Reyyen langsung berada di samping ranjang, memegang tepiannya dan bersendu dengan tangis yang tertahan-tahan.

"Kamu harus kuat East, kamu harus siuman." sendu ibu.

Sementara itu Mayang teralihkan dengan monitor jantung di samping ranjang. Garis fluktuasi menunjukkan jantung East sudah mulai stabil. Dia lantas melihat air yang menetes dari kantong infus yang tergantung di kepala ranjang.

"Semua akan baik-baik saja," Om Emran mengelus pundak Tante Reyyen.

"Kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan beberapa jam ke depan, beri tahu kami kalau pasien sadar," terang salah satu suster, kemudian keluar bersama temannya dari ruangan.

***

Sudah pukul 03 pagi, suasana di dalam ruangan senyap, yang terdengar hanya mesin pendeteksi jantung. Tante Reyyen dan Om Emran tertidur di pojokan dekat pintu. West pun sama, kepalanya bahkan jatuh di meja kecil. Sepertinya semua kelelahan.

Sementara Mayang masih terjaga. Wanita itu tak lepas pandangannya dari East. Mengamati perubahan yang terjadi. Makin ke sini wanita itu sadar bobot pria itu makin berkurang.

Suara engahan terdengar kemudian. Mayang sedikit terkesiap lalu menatap tangan East yang bergerak perlahan.

Bola mata East lalu melebar, Pria menoleh kemudian mendapati Mayang di sampingnya yang semringah senang, sementara jauh di belakang dia bisa melihat orang tua dan adiknya tertidur.

"Kenapa kalian semua di sini?" tanya East.

"Kau anfal dan tidak sadarkan diri."

"Aku tak ingat apa-apa setelah tidur. Sudah berapaa lama aku tertidur?"

"Lebih dari 12 jam."

East lalu menatap langit-lagit kamar, sebelum berpindah mengamati ayah, ibu dan West yang tengah lelap. "Aku sungguh merepotkan," katanya kemudian jeda setengah menit. "Sudah setahun lebih. Pasti mereka sudah bosan menghadapi penyakit aku," lanjutnya.

"Kita semua menyanyangimu."

Tiba-tiba dari belakang ibu terbangun mendengar percakapan mereka. Beliau langsung bangkit dan merapatkan jarak. "Kau sudah sadar, bagaimana keadaanmu?"

Omongan ibu turut membangunkan Ayah dan West.

"Seperti biasa kurasa," kata East.

"West panggil suster!"

West mengangguk lalu menjangkau pintu memanggil suster.

"Jangan sepanik itu, aku baik-baik saja," East coba tersenyum. "Nih lihat wajahku." East memelotot mata sehingga dahinya berkerut, dan tertawa kecil.

"Kau masih bisa bercanda saat semuanya sedang panik." Ayah ikut tertawa.

Tak lama dua orang suster datang bersama West. Semuanya menunggu di luar. Cekatan suster memeriksa nadi East, mengecek selang infus, dan menulis beberapa catatan setelah mengamati mesin pendeteksi jantung.

***

Bersambung...

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang