Pagi ini semua normal kembali setelah East bisa beraktivitas seperti sedia kala. Dokter mengingatkan agar keluarga mengawasi East untuk tidak menyentuh gula atau kafein yang bisa memperparah kanker.
Tante Reyyen dan Om Emran kembali ke rumah. Mayang memilih tetap di rumah sakit. Sementara West mengutus bawahannya ke Pameran sehingga dia bisa banyak waktu mengurusi East.
Mayang mengajak East berkeliling. Mengitari taman yang rasnya sudah dihapal seluk beluknya oleh East saking terlalu sering berkunjung.
“Dua hari ini kamu ke mana?” tanya East.
Mayang yang sedang mendorong kursi roda East, menyetop langkah. Dia harus menjawab apa. Wanita itu sekilas menoleh ke West yang berada 3 meter di belakang mereka. “Kudengar kau menghentikan kemo?”
“Kunjungan kerabatmu jadi alasannya?” East masih kekeuh dengan pertanyaan awalnya. “Kau tahu kenapa aku menghentikan kemoterapi?”
Mayang menatap lekat East yang tak menatapnya.
“Kemoterapi membuatku cepat lelah. Sementara aku ingin selalu berada di dekatmu. Kelelahan akan mengurangi frekuensi kebersamaan kita. Aku ingin selalu berada di dekatmu seperti saat kita bersama di Toamasina,” ujar East dengan suara sedikit bergetar.
Mayang yang mendapati kaca-kaca bening di mata pria itu, langsung jongkok di samping kursi roda. Wanita itu mencengkeram pegangan kursi roda. Air mata East jatuh kemudian.
Mata Mayang ikut berkaca-kaca. Ini air mata pertama East yang dia temukan.
“Aku mencintaimu Mayang. Dengan segenap hatiku.” ujar East sesunggukkan.
Tak terasa air mata Mayang ikut jatuh. Sebuah pengakuan yang seharusnya bisa diprediksi. Tak ada alasan lain yang melatarbelakangi janji yang ingin dipenuhi setahun lalu di Lake Anosy--bahkan dengan menyuruh orang lain berpura-pura jadi pemeran pengganti, selain ketulusan dan cinta.
“Aku pantaskan mencintaimu?”
“.....”
“Izinkan aku terus bersamamu, sebelum aku meninggal.”
“Jangan ngomong begitu. Kau pasti sembuh,” Mayang banjir air mata.
Sedangkan West yang mendengar percakapan mereka turut meneteskan air mata.
“Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkanku.” East menghapus air mata. “Kenapa aku jadi cengeng begini.” Pria itu berusaha tertawa namun terdengar aneh. “Jangan hiraukan pegakuanku.”
Mayang menghapus air mata. “Kita semua akan ada di sini untukmu.”
“Apakah kau mencintaiku?”
Pertanyaan itu tiba-tiba seperti sambaran petir. Mayang harus menjawab. Dia sempat melirik West di belakang. “Kami semua menyanyangiku.”
East menundukkan kepala. dia tak mendapat jawaban dari Mayang. “Kalau begitu tetaplah di sini, menemaniku.” East menarik ingus. “Setidaknya sebelum aku mati aku masih bisa mencintai seseorang yang berarti dalam hidupku.”
Mayang sulit menjawab apapun sekarang. Apa yang harus dia utarakan, di sana di belakang ada pria yang juga mencintainya. Pria itu bahkan tahu kalau ada Jaide di antara mereka bertiga.
Di belakang, West memadang keduanya dengan fokus blur. Kakaknya benar-benar mencintai Mayang. West lantas teringat akan janji yang dulu dikatakan East padanya ‘agar jangan jatuh cinta pada Mayang’. Dan harus diakui West melanggar janji itu. Maafkan aku East, aku juga jatuh cinta pada Mayang. Pria itu menundukkan kepala lalu membalikkan diri, meninggalkan taman dengan kepala tertunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...