Beberapa menit sebelumnya.Entahlah apa yang membuat West enggan ikut Mayang dan East. Pria itu malah memutuskan di kamar. Merapikan hospital bed. Menutup jendela, dan mengikat tirai. Efek salju akan membuat kamar semakin dingin.
Pria itu lantas menuju meja dan meraih gelas. Namun tiba-tiba benda kaca tersebut jatuh dari genggaman, dan prannnnng! pecah di lantai.
“Arrrgh,” kesal West. Pria itu jongkok, memungut beling, dan “Aukh!” Jarinya berdarah. Salah satu ujung beling melukai telunjuknya.
West berhenti sebentar, memperhatikan jari yang terluka. Seketika perasaan tak enak muncul. Seperti dentuman di dada. Ada apa ini? Tak mau ambil pusing, West lanjut membersihkan beling di lantai.
West menuju kamar mandi. Pria itu membuka keran wastafel. Membersihkan luka, lalu membungkus jari dengan kain kasa.
Pria itu lantas mengerutkan dahi. Dia mendengar hentak sepatu yang tergesa-gesa. Dia hapal bunyi sepatu itu milik Mayang. West menoleh lewat pintu kamar mandi.
“West,” cari Mayang dengan napas ngos-ngos.“Ada apa?” West yang menyadari suara Mayang tidak baik-baik saja, keluar dari kamar mandi. “Kamu kenapa? Ada Apa? Kenapa menangis?”
“East!”
“Iya, East kenapa?”
“East pergi. Meninggalkan kita.”
Mendengar hal itu gulung kasa jatuh dari genggaman. “Jangan bercanda.”
“Aku tidak bercanda.”
“East!!!” teriak West. Air mengumpul di ujung kelopak mata. “Sekarang dia dimana?”
“Dibawa ke ruang emergency.”
Tanpa aba-aba West melewati Mayang dan berlari ke luar. Mayang yang melihat hal itu ikut mengejar dari belakang.
Sementara itu, di ruang emergency, dokter dan dua suster sedang berjuang menggunakan alat pacu jantung. Berusaha mengembalikan denyut yang berhenti. Tubuh East hentak karena tarikan-tarikan alat pacu. Nihil, garis di layar monitor datar, tak ada perubahan.
Dokter membuka masker, melirik ke salah satu suster dan kemudian menggeleng.
Di luar, West gusar. Pada akhirnya hari mengkhawatirkan itu benar-benar tiba. Harusnya dia menyadari semuanya ketika mendapati East yang begitu lemah akhir-akhir ini. Meski sadar suatu saat hal ini akan kejadian, namun rasanya dia belum siap menerima kenyataan ini.
Sementara itu Mayang yang berada di samping, hanya mampu menatap West. Wanita ini tahu apa yang terjadi. Masih segar di ingatan ketika dia tidak menemukan denyut di lengan East.
Pintu ruangan terbuka. Dokter dan dua suster keluar.
“Kami sudah bekerja maksimal,” ujar Dokter. “Tuhan yang berkehendak.”
Seketika West lemas bukan main. Pria itu langsung berlari ke dalam ruang emergency, dan memeluk kakaknya di ranjang. Tangis West pecah seketika. Pria itu mendekap tubuh kakaknya sepenuh hati. “East!!!”
Mayang yang mengekor masuk, ikut merasakan kehilangan ini. Pria yang dia kenal di Toamasina, pria yang memaksanya keluar dari Madagakar, pria yang beberapa menit lalu bersandar di punggungnya, kini kaku tak berjiwa. Wanita itu menarik ingus, sebelum maju dan mengelus punggung West.
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
....bersambung
Note:
Pada akhirnya aku harus melakukan ini, membuat tokoh East meninggal. Thanks pembaca yang budiman
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...