Piece of 5.2

119 13 4
                                    

Sekuat apapun menutupi kecewa, bahasa tubuh sulit berbohong. West mampu mendeteksi hal itu pada Mayang sejak mereka pulang dari taman. Mendapati kenyataan pencarian berujung buntu bahkan di informan terakhir seperti membunuh harapan yang telah dibangun. Dan itu dialami Mayang.

West mengetuk pintu kamar Mayang ketika jam menunjuk pukul 4 sore. Pria itu menumpu sebelah tangan di kusen.

Pintu melebar, Mayang nongol dengan roman kuyu.

"Kau sudah lebih baik?" todong West.

Mayang mengembus napas. Dia tahu pria di hadapannya ini khawatir. "Aku hanya perlu menerima kenyataan."

West melepas tangan dari kusen. "Kau butuh sesuatu yang setidaknya bisa meringankan pikiranmu," West ingin mengurangi kecewa Mayang. "Kupikir ke pantai bisa jadi hal yang membantu. Kau butuh refreshing, kau butuh rileks."

Mayang mesem. "Kau sedang coba menghiburku?"

"Bisa jadi." West meminta kepastian, "Trus?"

"Ya udah," Mayang setuju. "Mungkin dengan ke pantai aku bisa lebih baik."

Atas rekomendasi West, mereka akhirnya mengunjungi pantai Ifaty. Jaraknya setengah jam dari penginapan.

Pantai Ifaty berhadapan langsung dengan selat Mozambik. Pantai ini memiliki garis pantai yang panjang. Pasirnya putih dengan deburan ombak yang menawan. Jika siang hari warna air berubah menjadi kehijauan. Pohon-pohon kelapa juga tumbuh subuh hampir di sepanjang pantai. Sampan-sampan nelayan sering parkir di sini.

Mayang menenteng sandal, wanita itu membiarkan kakinya menyentuh pasir. Di Toamasina dia sering melakukannya.

Mereka menyisir tepi pantai.

"Kau sering menghibur orang-orang di sekitarmu?" korek Mayang ketika mereka beriringan.

"Tidak juga," tepis West. "Tapi sebagai teman yang baik, aku merasa perlu membuatmu sedikit bahagia."

"Thanks." Mayang mengibas pasir dengan kakinya. "Sejak pulang dari taman, aku memutuskan untuk tidak terlalu berharap."

"Ya barangkali itu cara yang terbaik saat ini."

"Dan mungkin untuk kedepannya juga," Mayang menarik napas. Bau laut ampuh melireks pikiran. "Jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Bertemu ayah ataupun tidak, aku akan baik-baik saja."

Benar kata Mayang, West hanya khawatir. Pria itu yakin meski Mayang mandiri sejak kecil tak menjamin dirinya bisa bertahan dalam kekecewaan. Pahitnya hidup bisa kapan saja datang menyerang.

"Seperti yang kubilang, aku hanya butuh menerima ini."

Mereka sudah menghabiskan sepertiga garis pantai. West tak sengaja melihat gelang pemberian Pak Elio di pergelangan tangan Mayang, bersanding dengan gelang peninggalan ibunya. "Kau sudah mengenakannya."

"Biar aku merasa dekat dengan orangtuaku. Sedekat dua gelang ini," Mayang mengangkat tangan setinggi pinggang. "Rasanya hanya ini yang bisa kulakukan."

"Jika aku jadi dirimu, aku pasti melakukan hal yang sama."

"Kau sendiri kenapa tak mengenakan gelang."

"Karena—" West masih mencari alasan yang tepat. "Karena jika aku mengenakannya, orang-orang akan mengira kalau kita pasangan," jawabnya spontan.

Seketika Mayang menoleh, satu muka menatap West. Wanita itu merasa dejavu seperti saat mereka mengaku berpasangan saat menemui Madam Claude. "Kau ingin membuatku ge-er?"

West tertawa.

Puas berkeliling, Mayang dan West lantas duduk di tepian dengan posisi kaki melipat ke atas. Mereka menjauhkan pandang ke depan, menikmati langit yang mulai menguning di ujung senja. Sesekali gulungan ombak, lembut menyentuh ujung-ujung jari. Suasana lebih nyaman sekarang.

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang