Piece of 17

38 4 2
                                    

Sudah satu minggu lebih Mayang berada di Istanbul. Wanita itu dijamu dengan baik oleh keluarga East. Mereka memperlakukan Mayang layaknya anak sendiri. Om Emran dan Tante Reyyen malah beberapa kali sungkan lantaran wanita itu memperlakukan East sangat baik, seperti seorang suster.

Pagi ini Mayang, West dan Tante Reyye sarapan di meja. Menunya cukup menggiurkan, muhlama--hidangan sejenis bubur yang terbuat dari cornmeal yang dimasak dengan keju dan mentega. Sementara itu Om Emran bertugas di rumah sakit.

“Jadi kau mengajar juga?” tanya Tante Reyyen kaget usai mengetahui pekerjaan Mayang.

“Ya, jika aku libur di toko. Kalau jadwal mengajar bentrok aku biasanya meminta tukar shift,” Mayang menjelaskan.

“Wanita yang ulet,” puji Tante Reyyen.

Drrrrt... ponsel Mayang yang berada di meja makan bergetar kemudian. West yang berhadapan dengan Mayang dapat membaca nama yang tertera di layar. Jaide!

Mayang menatap West sekali, sebelum membiarkan panggilan tersebut mati.

Drrrt... Panggilan kedua dari Jaide muncul, Mayang meraih ponsel. Melihat layar saksama sebelum panggilan tersebut mati lagi.

“Kenapa tidak diangkat?” tanya Tante Reyyen.

Mayang berusaha menyeringai, “Nanti saja, takut ganggu, kita sedang ngobrol.”

“O.”

Ini kedua kalinya, telepon Jaide tidak digubris Mayang. Beberapa hari lalu ketika Jaide telepon, Mayang bahkan belum menelepon balik. Wanita itu lantas mengintai wajah West. Pria ini tahu siapa yang menelepon.

Beberapa menit kemudian, sebuah notifikasi muncul di layar. Mayang refleks membuka.

Assalamu alaikum.
Apa kabar, aku rasa kamu baik. May, aku berencana ke Turki. InsyaAllah Penerbangan besok jam 3 siang. Kalau kau tidak sibuk, nanti malam aku telepon lagi. Mayang menutup ponselnya. Dia kembali menatap West.

“Makanlah dulu, nanti muhlama-nya dingin,” Tante Reyyen memecah hening.

“Eh--iya,” sebut Mayang sungkan, lalu menyendok muhlama.

----

Jalanan Istanbul pagi ini sibuk seperti biasa. Kendaraan para pekerja seliweran di bulevar kota. Pejalan-pejalan kaki buru-buru mengejar waktu.

West membawa kendaraan ke arah barat kota. Bareng Mayang mereka ke rumah sakit, sebuah rutinitas wajib. Om Emran harus istirahat, beliau semalaman menjaga East.

“Aku tahu tadi itu telepon masuk Jaide,” tukas West, dia ingat yang terjadi di meja makan. “Ada yang pentingkah?”

Mayang menoleh.

“Kenapa tidak diangkat?”

“Jaide berencana menyusulku,” sebut Mayang langsung.

“Dia ingin ke Istanbul?”

Mayang mengangguk kecil.

Tiba-tiba West tertawa, “Ya ya ya, aku lupa, dia sudah melamarmu.”

Setelah West mengatakan hal tersebut, mobil langsung hening. Yang terdengar hanya deru mesin dan sesekali klakson dari luar.

***

Antananarivo, Madagaskar

Jaide menderek koper. Pria itu memeriksa kembali tiket penerbangannya. Ini untuk pertama kali Jaide kembali di Bandara Ivato, setelah tahun lalu menginjakkan lokasi ini sepulang dari Mesir.

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang