West tak menceritakan apapun kepada Ayah, Ibu maupun Mayang soal keputusasaan East akhir-akhir ini. Alasannya lantaran tak ingin mereka khawatir.Sementara itu, sebelum ke rumah sakit, Jaide menelepon Mayang. Pria Malagasy itu meminta pendapat Mayang soal cincin pernikahan yang nantinya akan mereka pakai. Mayang tidak terlalu merespons.
“Aku tak ada ide,” Mayang menjawab seadanya.
“Kita bisa beli di sini saja, biar tidak terlalu repot ketika tiba di Toamasina.”
“Terserah kamu saja,” Mayang menghela napas. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 10. Dia harus segera ke rumah sakit.
---
“Menurutmu ini bagus gak?” tanya Jaide ke Hakan. Pria itu meminta sahabatnya menemani ke toko perhiasan.
“Kukira di sini semuanya bagus,” sahut Hakan. Pria itu melirik lingkaran emas dengan ukiran berbentuk kembang di etalase yang ditunjuk Jaide. Cincin itu memiliki mahkota safir putih. “Tapi Mayang harus melihatnya.”
Jaide memainkan bibir. Mayang tampak cuek di percakapan terakhir mereka. “Mayang bukan tipe yang ribet. Kurasa dia menyukainya.”
“Tapi dia juga harus mencobanya kan?”
Jaide tampak angguk-angguk. Dia berpikir sebentar. “Tapi menurut kamu bagus kan?”
“Bagus. Bahkan semua yang terdapat di etalase kaca ini. Tapi soal perhiasan, wanita punya standar penilaian. Kau tak mau kan, membeli barang yang mubazir?”
***
Setiba di rumah sakit, Mayang lumayan kaget. Wajah East lebih pucat dari biasanya. Matanya lebih kuyu, bibirnya ikut-ikutan pucat. Malah dalam beberapa kali kesempatan Mayang dapat mendengar tarikan napas East yang engah-engah.
Mayang mengerutkan dahi. “Kau yakin kita akan jalan-jalan?” tanya Mayang, lalu menatap West di belakang. “Di luar dingin. Kurasa salju turun terlalu banyak hari ini.”
“Aku sudah mengenakan syal. Sweterku juga tebal. Aku juga menyiapkan jaket.” East sedikit mendorong kursi roda.
“Tapi--”
“Aku ingin melihat salju lebih leluasa,” kekeuh East.
Serupa Mayang, West juga menyimpan kekhawatiran.
“Menikmati salju terbaik adalah dengan menyentuhnya,” sebut East. “Kita tak akan tahu seberapa dingin salju jika kita hanya ada di ruangan ini,” lanjut East dengan roman muka memohon. “Sejak salju turun bulan ini, aku belum pernah keluar. Aku ingin menyentuh salju-salju itu.”
Drrrrt, tiba-tiba ponsel Mayang bergetar.
Nama Jaide muncul di layar. Aku di luar, di depan kamar East.
“Siapa?” tanya West sontak.
“Jaide” desis Mayang, sampai-sampai East tidak bisa mendengar. “Aku keluar dulu,” Mayang menjangkau pintu.
East menaikkan kening.
---
“Maaf, datang mendadak tanpa memberi tahu kamu,” terang Jaide. Pria itu memegang paper bag berwarna cokelat. “Aku bareng Hakan. Dia menunggu di bawah.” Mereka terlibat obrolan tiga meter dari pintu.
“Mau jenguk East?” tanya Mayang, dengan tubuh seolah ingin membawa Jaide masuk.
“Tidak, tidak,” sanggah Jaide. “Aku ke sini ingin bertemu kamu.” Jaide kemudian sedikit membenarkan posisi tubuh. “Aku tadi ke toko perhiasan. Aku melihat-lihat beberapa cincin. Banyak yang bagus-bagus.”
Mayang spontan memperhatikan paper bag cokelat.
“Aku tertarik ke salah satu cincin. Makanya langsung kubeli. Kurasa ide bagus membeli lebih awal cincin pernikahan kita.”
Ekspresi Mayang datar. Entah dia harus senang atau biasa saja. Kondisi East di dalam lebih mengkhawatirkan, dan tak patut dirayakan dengan sebuah cincin.
Jaide merogoh kotak di dalam paper bag. “Aku memilih bentuk yang paling bagus. Semoga muat di tanganmu.” Pria itu lantas membuka kotak cincin. Terdapat dua cincin mengilap dengan ukiran kembang. Safir putih di bagian mahkota memancarkan cahaya.
Mayang mengamati saksama cincin tersebut. Mengembus napas. Cincinnya lebih dari indah.
“Kau mau aku pakaikan?”
Mayang melihat blur cincin.
“May?” sergah Jaide.
“Aku bisa memakai sendiri,” jawab Mayang sedikit gelagap. Pikirannya jauh ke kamar inap.
Mayang hendak mencopot salah satu cincin.
Ssssst! Bunyi gesekan kursi roda dengan ibun terdengar. Spontan Mayang dan Jaide menoleh. Di depan pintu kamar, tampak West yang hendak menarik kembali kursi roda.
Mayang nanar mendapati kakak beradik tersebut.
“Silakan dilanjutkan,” seloroh West, lantas menarik kursi roda kembali ke kamar.
Cepat-cepat Mayang menutup kotak cincin yang berada di pegangan Jaide. “Ini bukan waktunya tepat, pulanglah. Nanti aku telepon,” ujarnya buru-buru lantas masuk kembali ke kamar inap meninggalkan Jaide.
Bunyi ketukan sepatu Mayang terdengar keras. Padahal jarak posisi sebelumnya ke kamar tidak terlalu jauh. Wanita itu bagai tersangka di depan kakak beradik ini. Entah apa yang hendak dijelaskan. Tiba-tiba lidahnya kelu. Berganti-ganti dia menatap West dan East
West jadi defensif, entah apa. Sementara itu Jaide mencoba biasa saja, namun Mayang tahu hal itu coba dia paksakan.
Hening setengah menit. Yang terdengar hanya deru AC.
“Ayo kita jalan,” cetus East memecah sunyi. Pria memutar roda. “Kenapa kalian diam saja? Ayo....”
Mayang menaikkan pandangannya ke West.
“Kalian bisa pergi. Aku di sini aja,” ujar West kemudian.
....bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
EspiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...