Piece of 24 [Part 2]

13 2 0
                                    

“Salju awal bulan ini indah,” ujar East, dia sedang melihat salju yang turun dari jendela.

Di belakangnya, West sudah siap dengan membentangkan jaket di tubuh kakaknya ini.

East memutar kursi roda, sehingga kini dia berhadap-hadapan dengan West.

“Cuaca sekarang lebih dingin, kau harus tetap hangat.” West setengah jongkok dan memakaikan jaket ke tubuh kakaknya.

East tersenyum.

Hari ini entah kenapa East meminta West berkeliling rumah sakit, hal yang selalu dia minta pada Mayang. West sempat menolak lantaran melihat Wajah East yang lumayan pucat, apalagi cuaca di luar tak baik untuknya. Namun apa daya, dia luluh ketika East terus memohon dan mengatakan kalau dia akan baik-baik saja.

Hari itu West membawa East berkeliling di koridor. Mereka membincangkan banyak hal, terutama membahas masa kanak-kanak mereka hingga remaja. Tak jarang mereka terbahak mengingat-ingat momen konyol.

“Aku bahkan sering menjadi kau saat kau malas bertemu Hanifah, mantan pacarmu yang posesif itu,” kenang East.

“Hahahaha,” West tertawa, dia ingat pernah menyuruh East. “Dengan begitu aku bisa nge-date dengan Melisa.”

“Cewek Irlandia di sekolah kita itu? Gimana kabarnya?”

“Melisa mungkin sudah di Inggris sekarang.”

“Aku gak kebayang kalau Hanifah dan Melisa satu sekolah. Mereka pasti tahu kelakukanmu. Dasar playboy!”

Keduanya tertawa sehingga terdengar seisi koridor. West bisa menemukan garis tawa yang lebar memudarkan pucat yang membungkus wajah kakaknya. Bahkan dalam beberapa cerita lain, East tampak antusias menggerakkan tangan seolah senang dengan obrolan mereka.

“Btw, thanks sudah menemani aku hari ini,” ujar East.

“Sama-sama,” West menyemat senyum.

“Aku tak tahu apakah momen kita ngobrol sedekat ini bisa terulang lagi,” sendu East kemudian.

West ingat percakapan mereka terakhir kali menghadirkan rasa canggung.

“Aku merasa sangat lelah hari ini.”

Seketika kening West naik. Pantas wajah East pucat. “Apakah kita harus balik ke kamar?” West hendak membelokkan kursi roda.

East menahan tangan West sehingga pria itu tak melanjutkan niatnya. “Jangan, aku masih ingin percakapan kita terus berlanjut.”

West menatap rambut East yang sudah jarang.

“Aku merasa waktuku hampir habis,” tiba-tiba suara East bergetar. Dan tiba-tiba pula air matanya jatuh membasahi jaket yang menutupi pahanya. “Aku merasa tak berguna, aku merasa menyusahkan banyak orang,” suara isak East mulai terdengar.

Hal itu membuat West langsung bergerak ke depan dan jongkok. Dia meraih punggung tangan kakaknya. “Jangan berkata begitu,” West yang menemukan air mata kakaknya langsung ikutan menangis.

“Aku bosan di ranjang, aku bosan di rumah sakit, aku bosan di kursi roda.”

“Kau pasti sembuh.”

“Jangan terus mendongengiku seperti itu...,” East menatap adiknya yang jongkok. “Maafkan aku yang selalu membuatmu merasa tersingkirkan, maafkan aku yang menyita semua perhatian ayah dan ibu, maafkan aku yang membuatmu selalu menjadi yang kedua.”

“Tidak apa-apa. Aku sudah tak memikirkannya.”

“Jika aku sudah tak ada, tolong jaga Ibu, dan ayah.”

“Omonganmu membuat aku takut, jangan ngomong kayak gitu.”

East menempelkan tangannya di gengaman West. “Kau janji menjaga mereka?”

West mengangguk. “Pasti!” katanya meyakinkan.

“Tolong jaga Mayang juga. Tolong jaga dia untukku. Tolong gantikan aku untuk dia.”

West menatap mata East. Dalam-dalam.

Beberapa detik sebelum West mengangguk lagi, East melanjutkan. “Aku sudah sangat ikhlas.” East menghapus air mata di ujung kelopak. “Jika aku tiada, tolong jaga Mayang untukku.”

West kemudian gantian menumpu punggung tangan adiknya. Pikiran West melayang ke pria Malagasy yang tiba-tiba datang ke Turki, Jaide. Pria itu yang nantinya akan menjaga Mayang. West kemudian menghapus air mata East yang masih jatuh. “Iya, aku akan menjaganya.”

....bersambung

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang