Piece of 9

72 6 0
                                    

East hanya sementara di Toamasina. Bisa besok, lusa atau minggu depan dia balik ke Istanbul—omongan Umi Haifa ini kerap menyergap.

Beberapa hari belakangan, Mayang sering mengilas balik awal pertemuannya dengan East. Menimbang dan membandingkan kedatangan awal dan kedua. Mayang akui, kedatangan kedua pria Turki ini menghadirkan rasa nyaman—bahkan lebih dari itu. Atau jauh sebelum kedatangan kedua—ketika dia percaya East kembali, dan rela menunggu di Lake Anosy.

Entahlah, yang pasti saat ini, East ada di sanubari.

Tapi benar kata Umi, East dapat kapan saja balik ke negaranya. Dan di antara mereka tidak ada komitmen. Bila nanti tiba saatnya pria Turki itu meninggalkan Toamasina, Mayang tidak memiliki alasan mencegah.

Kebimbangan yang melanda Mayang pada akhirnya mampu ditangkap West.

"Kau masih memikirkan gaji yang dipotong?" tanya West. Saat itu mereka sedang menyusuri trotoar kota usai menyelesaikan shift siang. Langit Tomasina mendung. Udara sejuk, dan pejalan kaki banyak. "Kan sudah kubilang, aku di toko untuk membantumu," West mengintai.

Mayang berhenti sebentar.

"Atau kau tak enak karena sering kubantu?"

"Bukan itu, ada hal lain yang kupikirkan," jawab Mayang sekenanya. Lalu menyejajarkan langkah dengan West. "Katanya kau mau singgah di masjid?" Mayang teringat omongan West ketika mereka meninggalkan toko tadi. Pria itu belum sholat ashar, sedangkan Mayang sudah menyempatkan diri tadi.

West mengangguk.

Mayang menengok ke samping jalan. "Dekat sini, ada masjid kecil. Tidak terlalu ramai."

Sesuai petunjuk Mayang, mereka mengunjungi sebuah masjid—yang lebih mirip surau. Lokasinya di belakang supermarket. Mayang dan West harus memutar jalan, melewati tiga bangunan. Masjid ini mirip rumah penduduk. Untung pintunya yang berbentuk kuba sehingga tampak berbeda dengan hunian lain.

Mayang menunggu di ruang utama. Wanita itu duduk paling belakang, sembari menanti West menyelesaikan wudhu.

West kemudian mendirikan sholat di saf paling depan. Mayang menyaksikan Pria itu takbiratul ihram. Mayang leluasa menyaksikan punggung West yang lebar. Bahkan dia belum pernah selama itu memandang. Pun sama ketika West berturut-turut rukuk, sujud, hingga pria itu menyelesaikan salam di rakaat terakhir. Mayang jelas paham, mengapa sedetail itu memperhatikan West.

Jaide sedang menanti jawabannya, sementara pria yang dekat dengannya tidak menunjukkan sikap apapun.

West menengada tangan, berdoa.

Perlahan di belakang, Mayang menundukkan kepala dan ikut bermunajat. Ya Allah, jika dia jodohku, tolong dipermudah.

"Wah makin mendung," ujar West sewaktu mereka keluar masjid. "Selesai ini kita ke mana?"

Mayang tidak menjawab. Dia hanya memperhatikan West.

"Hari ini kau aneh," celetuk West. Mereka sudah di trotoar lagi. "Kau ada masalah?"

Dari sikap dan cara bicara West, Mayang yakin pria ini biasa saja. Mengharapkan kalau West suka padanya, itu muskil. Toh selama ini, West tidak pernah menunjukkan rasa suka padanya. Dia sudah melewatkan banyak kota, dan mungkin sudah bertemu banyak wanita. Tertambat pada satu wanita di sebuah kota tak familier di Madagaskar, barangkali hanya cerita dongeng bagi pria itu.

West menyimpan pertanyaannya sampai mereka melanjutkan jalan, melewati tiga blok.

Tiba-tiba pakaian mereka basah.

Hujan turun perlahan. West dan Mayang berlari kecil, berteduh di teras bangunan tua tak berpenghuni. Udara kemudian bertiup kencang, menyebarkan dingin. Bunyi guruh terdengar, satu kali.

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang