Saat kali pertama bertemu Om Emran, Mayang paham bahwa West dan East banyak mewarisi perawakan ayah mereka. Rasanya hampir semua pria Turki memiliki paras yang demikian--tegap, hidung runcing, mata elang dengan pandangan yang meneduhkan.
Ternyata Om Emran lebih ramah dari Tante Reyyen.
Seminggu di Istanbul kesibukan Mayang dan keluarga West hanya bolak-balik ke rumah sakit. Kondisi East banyak kemajuan. Kata dokter support orang-orang di sekitar membuat semangatnya tumbuh. Sementara itu, West diringankan untuk tidak selalu mengurusi pekerjaan. Dia akan ke kantor jika ada urusan mendesak.
“Kau ternyata seorang direksi,” ujar Mayang saat pagi ini melihat West mengenakan jas rapi. “Direksi muda lebih tepatnya.”
West hanya tersenyum tipis, “Aku hanya sebentar di kantor. Ada rapat mendadak. Setelah rapat aku akan ke rumah sakit. Kau dan ibu pagi ini duluan ke rumah sakit kan?”
“Tante Reyyen hanya sebentar. Katanya beliau akan menemani Om Emran ke Bursa, ada agenda di sana,” jawab Mayang.
“Oh iya.”
----
Mayang cukup senang, pagi ini dia melihat binar bahagia dari raut wajah East. Meski kulit wajah East benar-benar gelambir tapi Mayang bisa merasakan semangat dari pria ini.
“Kamu bahkan wangi pagi ini,” puji Mayang. Mereka sedang berada di balkon. “Parfum yang sama dengan parfum setahun lalu.” Mayang memegang sandaran kursi roda East.
“Aku yang menyuruh West membawanya kemarin,” ujar East. “Setidaknya hari ini aku tak bau obat kan?” East terkekeh, lalu menatap Ibu yang berada di belakang. “Ya kan Bu?”
Ibu yang sedang duduk di kursi, tersenyum. Kedatangan Mayang benar-benar mengubah East seratus persen.
“Kau tak ingin jalan-jalan?” tanya East kemudian. “Aku pengin jalan-jalan.”“Kesehatanmu tak memungkinkan.”
“Aku bosan di rumah sakit, aku bahkan belum pernah pulang sejak 3 bulan lalu masuk rumah sakit.”
Mayang langsung menoleh ke arah Tante Reyyen. Belakangan Mayang tahu, waktu awal-awal kanker East terdeteksi, pria itu masih bisa bolak-balik rumah dan rumah sakit. Tapi sejak 3 bulan terakhir pria itu terpaksa bertemankan ruang inap.
“Tapi--” ucap Mayang masih menatap Tante Reyyen.
East ikut menoleh ke Ibu. “Bolehkan Bu?” rayu pria itu.
Ibu menatap East saksama, lalu menatap Mayang. Siapapun tiga bulan berada di ruang yang sama pasti akan bosan. Tapi udara di luar juga tidak baik untuk East. Ibu menghela napas sebentar, “Iya ibu izinkan.”
East melebarkan senyum.
Mayang menjatuhkan pandanganya pada East.
“Tapi jangan lama-lama, sebelum jam 12 kalian sudah harus pulang,” Ibu memperingatkan, lantas bangkit. “Ibu pergi dulu, Ayah sudah menunggu di bawah.” Ibu lantas mendekat dan mengelus tangan Mayang. “Tolong jaga East. Tante percaya padamu.”
Mayang mengangguk.
Tante Reyyen meninggalkan mereka berdua. Memang hari ini beliau menemani Om Emran ke Bursa--sebuah kota di barat laut Turki.
Sementara itu, setelah mendapat izin dari Ibu, East langsung menelepon supir. Mereka butuh kendaraan untuk berkeliling. Sebuah sedan langsung menepi di rumah sakit setengah jam kemudian.
“Dulu di Toamasina kita sering naik bus,” kenang East saat mereka berada di dalam mobil. Kendaraan sudah meninggalkan rumah sakit. “Kau ingat saat kita ke Tapakala?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
EspiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...