Pencarian lanjutan dimulai keesokan harinya.
Biar efektif, Mayang dan West pergi lebih pagi. Mayang mengenakan pakaian sederhana, sedangkan West muncul sedikit rapi. Kemejanya cemerlang, celananya licin, amat padu dengan sepatunya yang kasual. Rambut tebalnya tersisir atur.
"Kau seperti baru pulang kantor," celetuk Mayang. Mereka sudah meninggalkan homestay.
"Apakah itu pujian?" tanya West.
"Bisa dibilang begitu," sahut Mayang. "Tapi ini jauh dari kebiasaanmu setahun lalu." Mayang endus sesuatu. "Kamu orang kantoran ya? Maksudku di Istanbul kau bekerja di kantor?"
"Ya begitulah."
"Masa sih?" Kening Mayang nyaris bertemu. "Bukannya pekerja kantor terikat aturan? Mana bisa traveling tiap waktu."
Ah lagi-lagi West lupa kalau dia harus berperan sebagai East. Kakaknya itu hobi lancong, bahkan tiga tahun ini East jarang menyambangi perusahaan. Kedatangannya ke kantor hanya demi meminta tambahan dana ke rekening. West memilih bungkam, entah sudah ke berapa kali dia lupa peran
"Atau kau ini-"
"Kantorku memiliki sistem kerja daring," West menyela cepat. "Karyawan bisa menyetor tugas secara online," West berbohong. Apa mau dikata, inilah satu-satunya cara yang harus dilakukan agar Mayang berhenti curiga.
Mereka hampir tiba. Pusat kota lumayan ramai pagi ini. Orang-orang sibuk, begitu pun kendaraan-kendaraan pribadi. Pejalan kaki tampak buru-buru. Sebagian toko sudah buka, perkerja-pekerja sibuk merapikan dagangan di beranda.
"Aku tak yakin kita mendapat pentunjuk pagi ini," Mayang harus jujur pada West dan dirinya sendiri. Faktanya memang kemarin mereka tak menemukan apa pun. "Semoga hari ini ada sedikit keberuntungan."
"Semoga."
"Dalam keadaan seperti ini yang bisa kulakukan hanyalah berdoa." Mayang menghela napas. "Itu yang selalu diajarkan Umi Haifa."
"Kalau begitu lakukanlah."
"Kau juga harus melakukannya."
Seketika West memusatkan penglihatan pada wanita di sampingnya. Tiga detik West mencermati garis muka Mayang. Pria itu lantas mengekeh kecil. "Kuharap dengan kedatanganku bisa banyak membantu."
Mereka akhirnya tiba di taman.
Tak seperti kemarin, pagi ini taman lumayan sesak. Banyak sekali pejoging dan wisatawan. Beberapa orang yang berolahraga melakukan gerakan-gerakan ringan, sementara para turis sibuk mencari spot foto terbaik. Di titik-titik tertentu stand by fotografer jalanan yang menyediakan jasa foto. Seluruh toko suvenir sudah menggelar dagangan.
Tak membuang waktu Mayang dan West langsung memutari taman. Dimulai dari sisi timur. Mayang mengeluarkan gelang peninggalan ibu. Wanita itu menyentuh bulatan kayu satu per satu, seolah sedang zikir. Mereka telah menyisir hingga ke utara. Mayang maupun West meneliti baik-baik apa pun yang bisa memberikan clue.
West melihat Mayang memasang gelang di tangan. Mereka hampir memutar seluruh area. Keduanya lantas meniti jogging track dan duduk di salah satu bangku. Bangku itu berada di bawah pohon palem. West dan Mayang membeli air mineral yang tak jauh dari tempat mereka istirahat.
Mayang mendongak kepala. "Di sini segar."
"Benar. Makanya tak heran cukup ramai."
Posisi kepala Mayang normal lagi. "Dari seluruh taman yang pernah kau singgahi mana favoritmu?"
"Taman?" lagi West terjebak dalam pertanyaan yang bukan untuknya. "Taman Emirgan di negaraku," sebut West kemudian. Dia tak punya jawaban lain, toh taman yang berada di kota kelahirannya ini termasuk yang paling bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...