Sudah bulat, Mayang akan pulang.
Sehari jelang keberangkatan Mayang, rumah menjadi sedikit riuh. Tante Reyyen dan Om Emran menjadi orang yang paling sibuk. Menyiapkan koper, oleh-oleh dan memberikan banyak nasihat apa yang harus dilakukan dalam perjalanan.
Malah Tante Reyyen melipat pakaian-pakaian Mayang dan menyusun ke dalam koper.
“Sampaikan salam kami untuk Ayahmu, dan Umi Haifa,” sebut Tante Reyyen. Mayang sempat cerita bagaimana kehidupannya di Toamasina.
“Iya nanti kusampaikan.”
Tante Reyyen melipat jaket panjang berwarna hitam, bagian kerahnya penuh dengan bulu-bulu halus. Jaket pemberian Jaide saat Mayang dan pria tersebut jalan-jalan di Istiklal Caddesi. “Dan jangan lupakan kami.”
“Tante dan Om sudah memberikan banyak hal padaku. Tidak ada alasan untuk aku melupakan semua kebaikan keluarga ini.”
“Oh iya, jangan lupa nanti malam ke toko kue. Tante sudah pesan beberapa untuk oleh-oleh. Nanti West akan mengantarmu.”
Mayang hanya mengangguk kecil.
Namun jauh dari keriuhan itu, Mayang dan West sadar tak ada yang perlu dirayakan dari kepulangan ini. Mereka kurang bersemangat seperti sebagian jiwa akan hilang.
Mayang akan meninggalkan West, demikian pula West akan tanpa Mayang di Istanbul.Malah malam ini, ketika mereka berdua dalam mobil, sepanjang perjalanan hanya diam. Mereka menuju toko kue, mengambil pesanan dari Tante Reyyen.
Mereka melewati jalan utama Ortakoy, dan berhenti di tepi bulevar Selat Bosphorus. Angin bertiup semilir, ketika kapal-kapal membelah selat. Kemegahan jembatan Bosphorus yang memisahkan dua benua benar-bena kemilau dengan cahaya-cahaya lampu. Pijar-pijar dari gedung sekitar menambah kesan indah.
Mayang dan West bersisian menghadap laut.
“Terima kasih karena sudah datang ke Istanbul,” West membuka percakapan. Dia tahu mungkin ini adalah percakapan terakhir mereka, sebelum besok Mayang meninggalkan Turki.
Mayang yang sejak tadi menundukkan pandangan ke salju yang tersisa di pinggiran beton pembatas, mengangkat kepala.
“Aku bahagia bisa memenuhi keinginan terakhir East,” lanjut West.
Mayang memasukkan tangannya ke dalam saku.
“Kau akan ke Madagaskar, dan aku akan di sini. Mungkin malam ini menjadi hari-hari terakhir kita bersama.”
Mendadak Mayang merasa ada sesuatu menyerang dadanya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Ya memang seperti itu, kadang kita harus bersiap untuk berpisah.” West membuang napas.
Ya, berpisah, kehilangan dan meninggalkan--mungkin inilah perasaan yang menyerang Mayang, namun wanita itu tak kuasa dengan keadaan. Setelah kepergian East, bukankah tugasnya sudah selesai?
“Meninggalkan dan melepaskan,” sambung West.
Sekian detik tak ada obrolan. Mereka sama-sama menjauhkan pandang ke Jembatan Bosphorus. Puluhan mobil lalu-lalang. Sementara itu, satu-satu salju turun. Terhembas angin dan melayang-layang di antara keduanya.
“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?” Kali ini nada bicara West sedikit tendesi
Mayang menoleh, memantau setiap inci di wajah West.
Sekian detik mereka saling tatap.
“Apakah kau mencintai Jaide?” tanya West.
Roman wajah Mayang berubah kalut. Apa yang harus dia jawab? Sebuah pertanyaan mudah namun sulit dibalas. West seperti menunggu. Kemudian yang terdengar hanyalah napas, angin dan ombak yang membentur beton pembatas.
Mayang mengembalikan posisi kepala. Tak kuasa menghadapi setian inci dari wajah West.
Tak kunjung mendapat jawaban, West melanjutkan. “Tidak perlu dijawab. Kurasa aku sudah mendapat jawabannya.” West membalikkan badan, sekonyong-konyong air mata jatuh dari ujung kelopak mata, dan pria itu langsung meninggalkan Mayang.
Di tempatnya Mayang langsung menangkup wajahnya dengan tangan dan sesunggukkan. Dia tak mampu menjawab, sebab dia tahu telah jatuh pada pria itu. Mustahil dia memilih West. Akan ada Umi Haifa, Ayah dan Ustad Salman yang harus dia pikirkan. Akan ada Jaide yang nantinya terluka.
Mayang mengangkat kepalanya, melongok ke arah West yang masuk ke dalam mobil. Pria itu membenamkan wajahnya ke setir. Mengeluarkan emosi tangis yang dia tahan sejak meninggalkan Mayang.
Ya, mereka sama-sama patah.
.....bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...