Sebenarnya Mayang bohong, dia tak punya janji dengan Jaide. Dia hanya sedikit tak enak hati dengan West. Mirip dengan ‘ingin menghindari’ West.
Entahlah, kenapa secara tiba-tiba seperti ada jurang antara dia dan West. Yang pasti sudah dua hari ini Mayang tak bertemu West dan sudah dua hari pula dia tak ke rumah sakit.
Alhasil wanita itu hanya berdiam diri di kamar, dan selebihnya membantu Tante Reyyen di dapur.
Namun sepertinya semesta mendukung kebohongannya. Secara ajaib, Jaide mengirim pesan padanya. Hakan mengajakku ke pameran buku di Tüyap Fair Convention and Congress Center. Aku berencana pergi. Kalau kau mau, aku bisa menjemput.
Langsung saja Mayang mengiyakan, namun wanita itu berinisiatif menemui Jaide di luar. Dengan kilat Mayang berdandan. Baju panjang, rok lebar dan jilbab warna senada, tak lupa jaket sebab Istanbul selalu dingin akhir-akhir ini.
“Sudah mau pergi?” sergah Tante Reyyen ketika bertemu Mayang di halaman.
“Iya Tan.”
“Jaide menjemput?”
“Tidak kami janjian di Istiklal Caddesi. Ada Hakan juga.”
“Lokasi pamerannya di sana?”“Di Tüyap Fair Convention and Congress Center. Sekalian Mayang izin pulang terlambat.”
Tante Reyyen mengangguk. “Kalau ada apa-apa telepon.”
“Baik Tan.”
Mayang menumpangi taksi menuju Istiklal Caddesi. Lokasi rumah Hakan dekat dengan lokasi tersebut. Istiklal Caddesi adalah kawasan hang out terbaik Istanbul yang terbentang sepanjang 3 kilometer mulai dari Monument od Republic hingga ke ujung Istiklal Caddesi. Terdapat berbagai macam kafe, restoran, galeri sini, hingga pusat perbelanjaan.
Sesungguhnya kawasan ini dikenal sebagai ‘Grande Rue de Pera’, jalan yang paling elegan di Istanbul, dimana terdapat toko-toko dan butik penting di Istanbul.
Mayang mengitari sekeliling. Dia menatap gedung-gedung tinggi di sebelahnya. Sungguh 3 kilometer jalanan ini melambangkan sisi modern dan kosmopolitan Istanbul.
“Kita tidak akan menemukan seperti ini di Toamasina,” ujar Mayang ketika trem melintas di tengah-tengah jalan.
“Jangan merendahkan negara sendiri.”
“Aku hanya memuji betapa cantiknya kota ini. Beruntungnya aku pernah menginjakkan kaki di sini.” Mayang lantas menyejajarkan diri dengan Jaide lebih rapat. “Apakah aku seberuntung ini?”
“Tidak semua orang beruntung sepertimu.”
Mayang menengadahkan kepalanya ke atas melihat setiap ujung gedung-gedung di sini. Lalu memperhatikan anak-anak muda yang keluar pintu-pintu butik dengan menggenggam paper bag. “Sepertinya mereka yang lebih beruntung.” Mayang kemudian sadar kalau dari tadi hanya ada dia dan Jaide. “Mana Hakan?”
“Dia sudah duluan ke pameran.”
“Tapi kau tahu tempatnya?”
“Tidak akan sulit, jika kita menggunakan maps,” Jaide sedikit membuka gigi. “Ternyata tidak terlalu sulit menghapal jalan di kota ini.” Jaide memang menghabiskan sebagian waktunya untuk menikmati Istanbul. Hakan sering mengajaknya keluar. “Istanbul punya banyak tempat yang indah. Tapi bagiku peninggalan zaman keemasan Islam di kota ini lebih benar-benar mengesankan. Kalau ada waktu kapan-kapan kita ke Hagia Sophia.”
Mayang merapikan jilbab yang tertiup angin. “Aku sudah ke sana. Minggu lalu. Pergi bersama East.”
“O,” seru Jaide angguk-angguk. “Bagaimana keadaan East?”
Mayang berhenti sebentar. Sudah dua hari dia tidak ke rumah sakit. Dia tak tahu secara pasti kondisi East. “Sama seperti biasanya,” jawab Mayang seadanya.
“Semoga Allah menyembuhkannya.”
Mereka lantas menyeberang ke jalanan sebelah. Jaide kemudian membawa Mayang ke salah satu butik.
“Kau mau membeli oleh-oleh?” Mayang penasaran ketika mereka berada di deretan pakaian tebal. Ada berbagai model. “Kau ingin kembali ke Madagaskar?”
“Aku ingin membuatmu beruntung seperti orang-orang tadi,” ujar Jaide.
Mayang mengerutkan dahi.
“Kau boleh pilih jaket mana yang kau sukai,” lanjut Jaide.
Mayang baru ingat dia sempat memuji sekian anak muda yang tadi keluar dari butik tadi. Tapi jujur pujiannya bukanlah sebuah kode pada Jaide. “Kau--”
“Silakan!” Mendapati Mayang yang diam saja, membuat Jaide berujar lagi, “Atau pengin aku yang pilih?”
Benar saja, Jaide malah menjadi seorang stylist di deretan jaket. Pria itu membawa empat jaket ke depan Mayang, menyuruh Mayang memilih. Namun tetap Mayang tak berucap apapun, baginya ini seperti sebuah kejutan yang jujur tak ingin dia rayakan, sebab dia tahu harga di lokasi ini mahal dan Jaide bukanlah pria dengan penghasilan double digit.
“Ya udah aku pilihin,” Jaide lantas menarik satu jaket panjang berwarna hitam, bagian kerahnya penuh dengan bulu-bulu halus. “Sepertinya ini cocok buat kamu. Apalagi cuaca di sini lagi dingin-dinginnya.”
Jaide lantas ke kasir dan membayar. Dia kembali dengan menenteng paper bag. “Kau harus menerimanya. Aku tak ingin Paman Bien menceramahiku karena tidak memperhatikanmu.”
---
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualitéImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...