Tak ada yang paling menyenangkan bagi Mayang selain bertemu Ustad Salman Adiba. Ustad yang meraih gelar doktor di Saudi ini memang kerap bersafari kota ke kota. Namun beliau jarang sekali ke Toamasina. Dulu, 2 tahun lalu Ustad Salman sempat ke Toamasina, namun Mayang tak ada kesempatan mengikuti kajian beliau.
Tapi sebentar lagi, Mayang akan melihat langsung Ustad karismatik tersebut.
Kini mobil Jaide penuh. Di dalam bukan hanya ada Mayang, namun turut ikut empat orang anak panti. Mereka berada di jok belakang. Jaide memang sengaja mengajak beberapa anak agar dia tak canggung semobil bareng Mayang.
Grand Mosque de Tamatave sore itu riuh. Halaman depan berdiri spanduk besar. Terdapat gambar Ustad Salman berukuran jumbo, dengan caption ajakan ke kajian. Orang-orang berdatangan. Didominasi bapak-bapak yang tentu saja antusias. Kendaraan-kendaraan berjajar di halaman parkir.
Jaide memarkir mobil agak jauh dari kerumunan.
Kajian Ustad Salman sore ini soal Kekhalifahan Ottoman. Kegiatan akan berlangsung setelah sholat Ashar.
Mayang dan Jaide lalu berpisah. Empat anak panti pun demikian. Dua cewek ikut Mayang, dan dua cowok ikut Jaide.
Sholat jemaah berlangsung cukup singkat. Kurang dari sepuluh menit. Ustad Salman bertugas sebagai imam. Mayang khusyuk, apalagi dipimpin ustad idola.
Panitia kemudian sibuk menyiapkan meja di depan mimbar khatib. Mereka memasang clip on, mengecek speaker, dan menyediakan air mineral. Seorang panitia mengarahkan jemaah agar merapatkan jarak. Lebih maju ke depan. Jemaah pria dan wanita dipisahkan sekat kain setinggi lutut. Jemaah pria tampak lebih banyak.
"Bismilllahi rahmanir rahim. Assalamu 'alaikum," terdengar seseorang membuka acara.
Mayang yang sibuk mengatur anak panti, mengalihkan pandang ke depan. Dia kenal suara itu. Jaide! Astaga kawannya ini bertugas sebagai presenter? Jujur ada rasa bangga melihat kawannya berbicara di depan dan duduk sejajar dengan Ustad Salman.
"Awal mengenal Ustad Salman, ketika saya mengikuti kongres mahasiswa islam luar negeri. Tak sengaja bertemu beliau," basa-basi Jaide sewaktu memperkenalkan narasumber. "Dari situ Ustad Salman dan saya sering membahas apapun, lewat telepon, lewat pesan. Saya banyak belajar dari beliau."
Kekaguman Mayang bertambah pada pria itu. Kenapa Jaide tidak pernah cerita cukup dekat dengan Ustad Salman?
Ustad Salman lantas membuka kajian dengan sejarah konstantinopel. Beliau menjelaskan bagaiman bangsa Turki pada zamannya mampu menjadi naungan muslim dunia. Setengah jam berjalan Mayang mengajukan tanya, sekaligus niat ingin mengobrol langsung dengan panutan. "Apa yang perlu kita jadikan pelajaran dari runtuhnya Kekhalifahan Ottoman ini?"
"Yang barusan bertanya, kebetulan datang bersama saya, Tad," celetuk Jaide, agak kikuk.
Jemaah kompak tertawa lantaran ekspresi Jaide mirip anak kecil.
Ustad Salman yang duduk, langsung bangkit. Beliau menaikkan kepala menjangkau sang penanya. Beliau sekilas memandang Mayang, lalu beralih pada Jaide di samping. "Gadis yang cantik," puji Ustad Salman, pandangan beliau seantero jemaah. Beliau kembali fokus pada Jaide. "Tak baik membiarkan sesuatu yang indah, menunggu. Jadilah Ali Bin Abi Talib yang berani melamar anak Rasulullah."
Kalimat itu membuat seisi ruangan riuh. Mayang yang sadar jadi fokus bahasan, menunduk. Sementara Jaide hanya mesem tipis. Ustad Salman kadang sering bercanda. "Maaf, biar tidak tegang," ujar Ustad Salman, lalu menjelaskan runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani.
Acara berlangsung hampir dua jam. Mayang puas, dapat bercakap langsung dengan Ustad Salman. Di akhir kajian, Jaide meminta Mayang dan anak-anak menunggu di parkiran. Pria itu hendak menyelesaikan sesuatu di dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...