Jubah hitam malam sudah menyelimuti kota.
Toamasina jadi temaram. Sudut-sudut kota dipenuhi warga dan pelancong yang ingin membebaskan penat. Di anjungan orang-orang akan duduk ditemani gitar dan cangkir kopi. Di kafe, puluhan orang akan berbincang apa saja. Sepanjang malam anak-anak muda mengukur jalan semaunya.
Dan malam ini Mayang butuh ekstra durasi di belakang cermin. Menghadiri jamuan makan malam dari Paman Bien menuntutnya sedikit lebih rapi. Mayang menyapu wajah dengan berbagai pekakas kecantikan, dari dahi hingga dagu. Matanya dramatis akibat eyeliner. Bibirnya diracun gincu merah pekat. Sementara pipinya harus menerima dempulan bedak warna-warni. Sekali lagi Mayang mengintai riasan wajah. Rasanya cukup.
Sejujurnya jauh di lubuk hati, Mayang sedikit waswas. Di tempat Paman Bien, dia akan bertemu Rinja. Mereka mungkin saja bisa seruangan, semeja dan mungkin bakal head to head. Mayang puyeng membayangkan hal itu, sebab dicap perebut duda satu anak, bukanlah label yang terpuji.
Mayang menyemprot parfum sebagai sentuhan akhir.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama East muncul di layar.
Wanita itu mengangkat, "Assalamualaikum, East."
"Walaikum salam," suara West terdengar dari ujung gawai. "Kau sudah rapi?"
"Tentu, tinggal nunggu kamu," sahut Mayang. "Posisimu sekarang di mana?"
"Masih di apartemen," jawab West. "Kau pakai baju apa—maksudku warna apa?"
Alis Mayang naik. Heran dengan pertanyaan tersebut. Wanita itu menekuk kepala melihat bajunya. "Warna merah, memangnya kenapa?"
"Tanya saja," seloroh West. "Kalau begitu tunggu, sedikit lagi aku ke tempat kamu." West menutup telepon dengan salam.
---
Bunyi pintu terdengar keras. West menutupnya buru-buru setelah obrolannya bareng Mayang berakhir. Pria itu menuruni tangga gesa-gesa. Sebenarnya dia sudah rapi sejak tadi, namun pria itu merasa perlu menghubungi Mayang untuk memastikan sesuatu. Bahkan demi malam ini West meminta petugas apartemen menyetrika bajunya. Sepatunya tak luput dari semir. Hanya saja saat ini atasannya benar-benar tak padan dengan bawahannya yang necis. Pria itu hanya mengenakan kaus putih polos.
West lekas menyetop taksi. Pria itu masuk dan mengarahkan sopir menuju toko baju terdekat. Dia butuh atasan yang setidaknya seimbang dengan penampilan Mayang.
Sepuluh menit berikutnya West tiba di toko baju. Seorang pegawai menyambut. West langsung membawa diri kederetan pakaian pria yang berada di sebelah kiri ruang. Beberapa kemeja bagian depan jadi sasarannya. West menyortir satu per satu, tak ada yang cocok. Pria itu menyortir di bagian lain. Sekian warna tak ada yang pas.
Dua pengunjung toko memperhatikan West.
Tak patah semangat pria itu pindah lagi ke bagian tengah. Telaten dia memeriksa deretan baju yang menggantung. Tak sengaja West menemukan sebuah maneken lilin. Maneken itu berbalut kemeja lengan panjang polos. Warnanya merah. Aha! Ini kemeja yang dicari. West meraba bahan kemeja. Perfect, kainnya tebal dan licin. Sepertinya cocok dengan celana cokelat tortilla yang dia kenakan ini. Tak berpikir lama West membawa baju tersebut ke kasir.
Setelah melakukan pembayaran West gegas meninggalkan toko. Taksi kembali membawanya ke kontrakan Mayang. Semoga dia belum terlambat. West lalu menyarungkan baju tersebut. Sekilas baju ini sesuai ukuran tubuhnya. West merapikan lengan kemeja. Mudah-mudahan Mayang suka dengan penampilannya.
---
Waktu di layar ponsel Mayang menunjuk jam delapan lewat.
Dalam obrolan terakhir, seharusnya West sudah on the way sejak tadi. Namun hingga detik ini tak ada tanda-tanda kedatangan. Padahal jarak apartemen West ke kontrakan tidak jauh. Dengan kendaraan hanya tujuh menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...